Gerakan Partisipatif Masyarakat Mampu Cegah  Contempt of Court
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Anthon F. Susanto dalam sambutannya membuka Simposium Pencegahan Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim dalam rangka Program Peningkatan Integritas Hakim Tahun 2019, di Hotel Golden Flower, Bandung (12/9).

Bandung (Komisi Yudisial) – Salah satu wewenang Komisi Yudisial (KY) adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Namun, KY dinilai lebih mengedepankan fungsi penegakan dalam bentuk pengawasan perilaku dibandingkan fungsi menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
 
“Komisi Yudisial diharapkan dapat memberikan perlindungan dengan rasa aman kepada aparat hukum dalam pelaksanaan tugasnya, bukan hanya perlindungan terhadap diri hakim secara individual tetapi juga menjaga kewibawaan peradilan dari perbuatan yang merendahkan kehormatan dan keluruhan martabat hakim,” ungkap Dekan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Anthon F. Susanto dalam sambutannya membuka Simposium Pencegahan Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim dalam rangka Program Peningkatan Integritas Hakim Tahun 2019, di Hotel Golden Flower, Bandung (12/9).
 
Melalui forum ini, Anthon berharap dapat memberikan masukan tentang bagaimana cara mencegah dan menegakkan perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, karena proses peradilan sepatutnya dihormati oleh semua pihak.
 
Anton lebih lanjut ingin menyatukan pemahaman, meningkatan kesadaran hukum, pengetahuan dan etika dalam proses penegakan hukum yang berkeadilan dan mendukung peradilan yang bersih dan profesional. Ia juga berharap bahwa tidak Ada lagi contempt of court sehingga peradilan sederhana, cepat, dengan biaya ringan sebagaimana diamanatkan UU dapat diwujudkan.
 
“Yang terpenting kami berharap KY memberikan rasa aman dan nyaman bagi para hakim dalam memutus perkara. KY cepat tanggap merespon tindakan anarkis yang dilakukan terhadap hakim secara individual, serta memberikan perlindungan terhadap hakim baik pada saat mengadili perkara maupun setelah perkara selesai diputus,” papar Anthon.
 
Semua lembaga penegakan hukum tidak hanya berusaha mencegah terjadinya contempt of court, tetapi juga mencoba mengembalikan kewibawaan seluruh aparat penegak hukum. Bagaimanapun menurut Anthon, “kita membuat aturan kalau masyarakat sudah tidak menganggap kita berwibawa, yang ada ribut pasti di pengadilan itu.”
 
“Kewibawaan aparat penegak hukum tidak melekat pada lembaga tetapi melekat pada personal. Jadi, untuk mencegah contempt of court kita harus introspeksi dulu,” pungkasnya.
 
Anthon menganalisis problematika contempt of court sebagai salah satu dampak dari krisis moral. Hukum formal tidak dibutuhkan lagi ketika etika kita kuat. Tetapi sebaliknya hukum formal dibutuhkan ketika etika lemah. “Oleh karena itu diperlukan membangun gerakan partisipatif untuk membangun paradigma akal budi/etik sebagai penopang, jika ingin memulai mencoba mencegah perbuatan merendahkan kehormatan hakim,” pungkasnya.
 
Pada intinya tak akan ada yang mampu menegakkan kehormatan hakim jika bukan dari diri sendiri, sehingga Anthon mengimbau masyarakat melakukan langkah partisipatif seperti bola salju yang bergulir semakin masif. (KY/Yuni/Festy)

Berita Terkait