Pakar Hukum: Sengketa Pemilu Selesaikan Secara Offcourt
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun pada Seminar Nasional bertema “Pemilu dan Integritas Hakim” di Auditorium Kampus UNG, Gorontalo, Kamis (19/9).

Gorontalo (Komisi Yudisial) – Isu terkait pelaksanaan pemilu yang tak kalah penting adalah penanganan perkara pemilu di pengadilan, baik mengenai sengketa hasil pemilu yang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK), sengketa administrasi pemilu yang berada dalam ranah hukum administasi negara yang ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), maupun tindak pidana pemilu yang ditangani oleh Pengadilan Negeri serta isu peranan hakim dalam penyelesaian kasus pemilu.
 
“Di Indonesia peran hakim sangat signifikan dalam proses berpemilu kita. Kursi itu tidak hanya dicari dari votters tapi dicari dari putusan-putusan hakim,” singgung Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun pada Seminar Nasional bertema “Pemilu dan Integritas Hakim” di Auditorium Kampus UNG, Gorontalo, Kamis (19/9).
 
Hal yang sering ditemui juga dalam penyelesaian kasus-kasus pemilu yaitu terkait kualitas dan integritas hakim. “Yang parah jika kita berhadapan dengan hakim, sudah tidak berkualitas, tidak pula berintegritas. Tetapi susah juga bila punya integritas, namun tidak punya pengetahuan yang cukup, begitu pula sebaliknya,” ungkap Refly.
 
Salah satu yang perlu dievaluasi, lanjut Refly, adalah mengenai efektivitas penegakkan hukum dalam pemilu, dimana ada peran hakim dan integritas hakim. "Kalau bicara sistem penegakan hukum pemilu, maka sesungguhnya ada dua pendekatan dalam penyelesaian perkara pemilu, yaitu oncourt, dan offcourt,” ujar Refly.
 
Refly menjelaskan, Indonesia menganut dua pendekatan tersebut, baik oncourt maupun offcourt. Dalam proses penegakan hukum dengan pendekatan oncourt, maka yang terlibat hampir semua lingkup peradilan. Sementara pendekatan offcourt melibatkan badan pengawas pemilu untuk menyelesaikan sengketa pemilu yang putusannya juga mengikat. Refly mengakui, walaupun kasus serupa masih dapat dibawa ke pengadilan tinggi dalam konteks pilkada dan ptun dalam konteks pemilu.
 
Lebih lanjut Refly menjelaskan, persoalan selama ini adalah terlalu banyak institusi yang terlibat dalam perkara pemilu. Banyaknya pihak yang terlibat menyebabkan tidak adanya soliditas.
 
“Hal ini menimbulkan kekacauan. Sudah kalah di Bawaslu, bawa ke PTUN, lalu dibawa ke MA, kalah di MA, bawa di MK, kalah di MK, kembali ke PN, kemudian ke PTUN, Jadinya tidak pernah tuntas,” ujar Refly.
 
Refly menggarisbawahi pendapat Bagir Manan, “Sengketa pemilu adalah sengketa politik. Selesaikan saja secara politik,” Refly menawarkan penyelesaian sengketa pemilu lebih baik tidak secara oncourt, tetapi offcourt. Dengan kata lain, tidak melibatkan pengadilan. Walaupun pengertian politik di sini tetap saja diselesaikan menurut hukum-hukum pemilu.  
 
Oleh sebab itu, Refly mengusulkan, pendekatannya tidak perlu oncourt, tapi offcourt, yaitu menjadikan Bawaslu sebagai lembaga penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu.
 
“Pengawasan dicabut dari Bawaslu, diberikan kepada peserta pemilu, masyarakat pemantau pemilu, dananya untuk enforcing pemantau pemilu, dan tugas Bawaslu bermimikri menjadi lembaga penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu, kecuali perkara pelanggaran pidana dan sengketa hasil pemilu legislatif dari pilpres karena merupakan kewenangan mutlak MK,” papar Refly.
 
Dengan demikian harapannya penyelesaian pemilu di Indonesia dapat menjadi jauh lebih solid, ringkas, berkeadilan, berintegritas, dan tentu berkualitas. (KY/Yuni/Festy)

Berita Terkait