Hukum Adat Adalah Mother of Law Indonesia
Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menulis Buku Hukum Adat Teori, Sejarah, Pengakuan Negara, dan Yurisprudensi.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menulis Buku Hukum Adat Teori, Sejarah, Pengakuan Negara, dan Yurisprudensi. Untuk memperkenalkan buku tersebut, dilakukan diskusi pada Selasa (10/11) yang diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai profesi melalui zoom meeting. Hadir pula Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia Laksanto Utomo sebagai narasumber yang lain.
 
Berbicara tentang hukum tidak bisa lepas dari masyarakat, karena hukum diciptakan untuk mengatur pergaulan hidup masyatakat. Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah  laku  manusia  dalam kehidupan sehari-hari,  yang lahir dan berkembang dari dan oleh masyarakat yang memiliki karekteristik khusus. Yaitu tidak tertulis, tidak terkodifikasi, dan berbeda satu komunitas dengan komunitas lain,  serta  yang mempunyai akibat hukum berupa sanksi pidana dan sosial.
 
“Hukum adat adalah hukum ibu atau mother of law dari bangsa Indonesia. Kedudukan hukum adat dengan karekteristiknya  telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan kehidupan masyarakat. Bahkan, hal itu lambat laun menjadi konsepsi para pendiri bangsa terhadap Pancasila sebagai pandangan hidup sekaligus falsafah kebangsaan,” ujar Jaja.
 
Pergeseran hukum adat menjadi bagian dari proses pembentukan hukum nasional mulai terlihat sejak kemerdekaan tahun 1945. Diharapkan mewujudkan  suatu keadaan  masyarakat  yang  dicita-citakan, yaitu masyarakat  yang  adil  dan makmur. Amandemen UUD 1945  menciptakan perubahan mendasar dalam pola pembangunan nasional, dalam hal memperteguh Kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia dalam RPJM.
 
Dalam praktik peradilan, putusan hakim merupakan mahkota hakim. Putusan hakim terdahulu yang senantiasa menjadi rujukan dalam menghadapi suatu perkara yang tidak diatur dalam undang-undang, dan menjadi pedoman bagi hakim menyelesaikan suatu masalah yang serupa, dinamakan yurisprudensi.
 
“Yurisprudensi ini menjadi satu faktor kunci yang dapat secara cepat mengakomodir perasaan keadilan yang hidup di masyarakat, karena adanya kekosongan hukum,” jelas Jaja.
 
Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum yang senantiasa dikaitkan dengan kewenangan hakim dalam memutus perkara. Hakim merupakan jabatan yang mengedepankan independensi sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Hakim tidak dapat menolak perkara karena berdalih ketiadaan hukum, sehingga ia harus melakukan terobosan guna melahirkan putusan. Salah satu terobosan yang perlu dilakukan adalah penemuan hukum atau rechtsvinding, agar putusan tersebut mampu memenuhi tuntutan jaman.
 
“Salah satunya adalah mengurai pelbagai persoalan yang ada yang menyangkut hak masyarakat yang saling berbenturan. Salah satu solusi adalah mengunakan hukum adat sebagai jalan menyelesaikan masalah tersebut,” pungkas Jaja. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait