KY Berpartisipasi dalam Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bekerjasama dengan Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyelenggarakan Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bekerjasama dengan Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyelenggarakan Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa. Konferensi berlangsung pada hari Rabu (11/11) di Gedung Nusantara IV komplek MPR/DPR, Jakarta. Turut hadir antara lain Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Ketua DKPP Prof. Muhammad, anggota DPD RI Prof. Jimly Asshiddiqie, dan anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan Andi Mattalatta. Peserta berasal dari berbagai profesi, dan dilaksanakan melalui tatap muka dan daring.
 
Ketua KY Jaja Ahmad Jayus menjelaskan bahwa KY yang lahir dari semangat reformasi tahun 1998, memiliki kewajiban untuk menjaga etika kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, khususnya dalam proses peradilan pada pemangku pengadilan, hakim. Hakim sebagai profesi yang mulia harus senantiasai untuk dijaga dan terjaga memangku etika kehidupan berbangsa, agar tidak melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap kode etik dan pedoman perilaku. Dengan demikian semangat mewujudkan keadilan, peradilan yang independen, profesional dan akuntabel dapat terwujud.
 
Keberadaan Komisi Yudisial ini erat dengan kaitannya dengan Kode Etik Hakim. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang KY menegaskan bahwa  KY mempunyai wewenang menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
 
“Mengapa kode etik Hakim begitu penting? Hal itu karena hakim yang berbudi pekerti luhur dapat menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan,” ujar Jaja.
 
Profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja, dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.
 
Hakim yang sarat dengan nilai luhur profesi seharusnya mampu menjaga dan terjaga dari segala macam penyimpangan pelanggaran. Namun, harapan tersebut  berbeda dengan fakta bahwa masih banyak terjadi pelanggaran dan penyimpangan terhadap kode etik hakim.  Hal tersebut terlihat data pelanggaran KEPPH sepanjang tahun 2005 hingga saat ini.
 
“Data menunjukkan pelanggaran etika oleh hakim masih terjadi meski terdapat KEPPH. Keberadaan KEPPH yang menjadi pedoman bagi hakim dalam melaksanakan tugas kedinasan dan non kedinasan, masih rentan adanya penyimpangan baik yang disengaja maupun tidak tersengaja,” beber Jaja.
 
Lemahnya integritas (kedisiplinan, kejujuran, dan kehati-hatian) serta kompetensi hakim (kemampuan ilmu pengetahuan, kecakapan di bidang hukum praktis) menjadi faktor utama dilanggarnya hukum acara serta KEPPH sebagai salah satu elemen dari pengadilan yang fair. Karena itu, perubahan seleksi hakim menuju pengetatan seleksi unsur integritas dan kompetensi menjadi pilihan utama; di samping meningkatkan intensitas pembinaan dan pengawasan. 
 
“Hal ini menunjukkan bahwa peran serta KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran hakim, merupakan sebuah keniscayaan dalam mengawal penegakan keadilan di negara Indonesia,” pungkas Jaja. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait