Secara Teoritis, Wewenang Nonyudisial Diharapkan Beralih ke KY
Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Sukma Violetta saat menjadi narasumber dalam acara Peluncuran dan Diskusi Buku “Antara Komisi Yudisial dan Dewan Yudisial”

Jakarta (Komisi Yudisial) – Sebagai salah satu narasumber  dalam acara Peluncuran dan Diskusi Buku “Antara Komisi Yudisial dan Dewan Yudisial”, Anggota Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta merasa terbantu dengan adanya buku ini. Selama ini KY mendorong Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim (RUUJH) dari 2016. Meskipun RUUJH ini inisiatif DPR, tetapi DPR tampak kurang antusias membahas. Tahun 2021 RUUJH rencananya akan dibahas lagi. Dengan kehadiran buku ini, KY akan memiliki basis teori hukum yang kuat.

“Saya jadi pede membahas RUUJH, karena KY memiliki modal teori kuat yang saya temukan di buku ini. Terima kasih pak Aidul, untuk memperjelas langkah KY ke depan,” ujar Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi ini.

Sukma menyinggung bahwa sebenarnya posisi KY masih membingungkan. Posisinya pengawasan seperti di negara penganut sistem hukum anglo saxon, tapi sistem hukum yang dianut civil law. Dari teori di buku ini, KY diproyeksi tidak hanya memiliki kewenangan terbatas seperti ini. Karena satu, sudah terdapat dukungan teoritis untuk memperjelas wewenangnya. Dua, memberikan gambaran pengaturan kekuasaan kehakiman tidak konsisten. Di masa lalu, intervensi luar terhadap pengadilan besar, maka itu harus dilindungi. Tiga, tidak konsisiten dengan sistem hukum Indonesia sendiri. Misalnya kewenangan rekrutmen hakim tidak dimiliki oleh Mahkamah Agung (MA), tapi pemerintah. Akhirnya semua kewenangan dikembalikan ke MA sebagai sistem satu atap. Tidak hanya bidang yudisial. Pada tahun 1999 kewenangan nonyudisial diberikan kepada MA, berbeda dengan negara-negara lain.

“Harusnya sistem satu atap itu transisi sifatnya. Wewenang nonyudisial sejatinya beralih ke KY. Tapi UU paket kekuasaan kehakiman tetap mempertahankan satu atap, dan didukung UUD 1945. Basisnya apa sehingga pengaturan kehakiman kita hanya mengarah pada sistem satu atap,” ungkap Sukma.

Buku ini menunjukkan bahwa kewenangan KY adalah kewenangan ujung. Karena dari rekrutmen, pendidikan, mutasi, dan pengawasan di MA. Sedangkan KY hanya pengawasan dan rekrutmen Calon hakim agung (CHA). Kewenangan tersebar secara acak. Hal ini tentunya akan berpengaruh ke bagian yang lain. Misalnya terkait promosi, MA sudah lebih baik. Ada fit and proper test untuk calon KPN, hakim PT, dan KPT. Tapi masih ada ganjalan di aspek integritas. Di KY, aspek integritas ditemukan di banyak kegiatan, termasuk laporan masyarakat. Perlu ada kejelasan sistem promosi, untuk menjamin seleksi CHA mempunyai calon yang kesempatan lulusnya besar.

“Semoga diberikan peluang oleh DPR untuk diberikan wadah kepada KY terkait promosi hakim. Untuk menjamin seleksi CHA yang memenuhi kebutuhan MA. Selama ini KY tidak bisa memenuhi permintaan MA, karena selama ini yang memiliki syarat integritas masih kurang,” harap Sukma. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait