Kekuasaan Kehakiman Harus Merdeka dari Berbagai Aspek
Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (PUSaKO) Feri Amsari pada Diskusi dan Bedah Buku Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman di Auditorium Rektorat Universitas Muhammadiyah Palembang, Jumat (26/10).

Palembang (Komisi Yudisial) - Untuk meluruskan tata kelola peradilan saat ini, maka yang paling penting perlu dibenahi adalah kekuasaan kehakiman. Bila ingin membenahi negara, penting membenahi kekuasaan kehakiman itu sendiri.
 
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (PUSaKO) Feri Amsari pada Diskusi dan Bedah Buku Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman di Auditorium Rektorat Universitas Muhammadiyah Palembang, Jumat (26/10).
 
Mengutip pasal 24 ayat 1 UUD 1945, Feri menyampaikan Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
 
Menurut Feri, ada tiga syarat kekuasaan kehakiman yang merdeka, di antaranya merdeka dari kepentingan cabang kekuasaan lain baik di pemerintahan atau pun para politisi, merdeka dari ideologi politik apapun atau tekanan publik, dan merdeka dari kekuasaan lembaga kehakiman yang lebih tinggi.
 
“Hakim Pengadilan Negeri tidak boleh diintervensi oleh hakim Pengadilan Tinggi, hakim Pengadilan Tinggi tidak boleh diintervensi oleh hakim agung,” ujar Feri.
 
Dari konsep tersebut, Feri berpendapat tidak cocok konsep satu atap yang ada saat ini.
 
“Konsep satu atap lebih cocok untuk manajemen perkara, hakim tidak boleh dibawah kendali satu atap itu,” jelas Feri.
 
Lebih lanjut, Feri menjelaskan bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka ada tiga syarat. Yang pertama sistem pemilihan dan pengangkatan hakim yang independen, kedua lama masa jabatan yang menjamin kemerdekaanya itu dan yang ketiga mekanisme pemberhentian hakim.
 
“Kewenangan lain KY dalam pasal 24B UUD 1945 adalah kewenangan lain yang diberikan undang-undang berkaitan dengan kewenangan untuk menjaga kehormatan dan marwah hakim. Bagaimana bisa dia mengawasi peradilan yang baik kalau KY tidak terlibat dalam proses seleksi,” jelas pria tamatan William and Mary Law School, Virginia, Amerika Serikat ini.
 
Kalau hakim dipilih untuk menghasilkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, mestinya prosesnya juga merdeka dari berbagai aspek.
 
Terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim, Feri berpendapat, untuk masa lama jabatan hakim lebih cocok 70 puluh tahun atau seumur hidup dengan syarat dan ketentuan berlaku. Harus ada mekanisme pemberhentian hakim yang jelas.
 
"Mencari orang baik saja susah, sedikit jumlahnya, masa jabatannya cuma lima tahun," pungkas Feri. 
 
Feri menekankan, hakim harus dijamin kemerdekaanya dari awal dididik hingga selesai hidupnya. 
 
“Sebagai wakil tuhan di muka bumi, setelah pensiun kesejahteraannya terjamin, sehingga tidak terpengaruh dari bermacam godaan,” pungkas Feri. (KY/Jaya/Festy)

Berita Terkait