Visualisasi Peradilan Bersih Harus Perhatikan Etika
Salah satu narasumber pada ngopi dan diskusi berkarya bersama dengan Sobat Muda KY (SOMKY) Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Syarif Nurhidayat, Senin (12/11) di Yogyakarta.

Yogyakarta (Komisi Yudisial) - Di era globalisasi ini, media sosial menjadi media global yang menjangkau khalayak luas dan memberikan kemudahan dalam penyebaran informasi. Ajakan untuk mewujudkan peradilan bersih bisa menjadi konten visual yang menarik di media sosial. Namun, dalam menampilkan konten visual tersebut harus tetap memperhatikan etika dan objektif.
 
"Visualisasi peradilan bersih bertujuan menampilkan sisi positif peradilan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Hal ini bisa terwujud dengan bekerja sama dengan lembaga peradilan," ujar salah satu narasumber ngopi dan diskusi berkarya bersama dengan Sobat Muda KY (SOMKY) Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Syarif Nurhidayat, Senin (12/11) di Yogyakarta.
 
Menurut Syarif, etika adalah studi tentang nilai, apa yang lebih penting atau apa yang tidak penting, apa yang baik atau apa yang buruk. Oleh karena itu, Sobat Muda KY dapat menampilkan visualisasi peradilan bersih harus tetap beretika, walau media sosial saat ini kehilangan filosofi utama demokrasi, yaitu kebebasan berbasis pengetahuan, keterampilan dan etika.
 
Sementara narasumber lainnya Dosen Komunikasi Visual Universitas Telkom Bandung Paku Kusuma mengatakan, budaya visual adalah proses dialogis terbuka yang terjadi antara pengamat dan objek pengamatan. Proses ini terjadi dengan menggunakan panduan indera penglihatan dan kemampuan dalam mencerna rasa.
 
Dikatakan Kusuma, Indonesia adalah negara pertama yang lahir dan merdeka setelah perang dunia kedua berakhir. Karya visual pertama yang lahir adalah saat Indonesia merdeka.
 
"Visualisasi lambang Garuda Pancasila diciptakan 11 Februari 1950. Karya visual akan baik dan berpengaruh jika saat menciptakannya dapat berkolaborasi," tuturnya.
 
Dalam kesempatan sama, Kepala Subbagian Advokasi Hakim KY Jonsi Afriantara mengulas tentang salah satu tugas KY melakukan langkah hukum terhadap siapapun orang, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan, keluhuran martabat hakim.
 
Perbuatan merendahkan kehormatan, keluhuran martabat hakim dapat disebut juga dengan contempt or court dapat bersumber dari internal maupun eksternal pengadilan.
 
"Sumber contempt of court juga dapat berasal dari masyarakat yang tidak puas terhadap putusan hakim. KY juga telah melakukan upaya mediasi antara hakim dengan pihak-pihak yang melakukan upaya merendahkan martabat hakim," ungkap Jonsi.
 
Menurut Jonsi, KY telah melakukan upaya advokasi kepada hakim melalui strategi tiga pilar yaitu penguatan internal KY, Penguatan hakim dan pengadilan serta penguatan budaya hukum di masyarakat. (KY/Eka/Festy)

Berita Terkait