CHA Tiarsen  Buaton: Penanganan Terorisme Harus Melibatkan Militer
Calon hakim agung (CHA) terakhir yang diwawancara adalah Tiarsen Buaton.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim agung (CHA) terakhir yang diwawancara adalah Tiarsen  Buaton. CHA dari kamar Militer ini ditanya pendapatnya soal terorisme yang merupakan kejahatan sipil, “Apakah militer dapat diikutsertakan?”.
 
Menurut Dosen Sekolah Tinggi Hukum Militer, terorisme merupakan kejahatan bersenjata yang harus dilawan oleh  militer. “Terorisme yang terorganisir seperti di Poso seharusnya diselesaikan militer, sebab polisi adalah sipil yang dipersenjatai. Jika terorisme gradasi rendah, polisi bisa menanganinya. Jika sudah bersenjata, maka polisi tidak akan bisa menanganinya sehingga harus ada peran militer. Pembagian peran antara polisi dan militer sudah jelas. Polisi menjaga hukum, militer menjaga kedaulatan negara,” papar pria kelahiran Tapanuli Utara ini.
 
Ia juga ditanyakan apakah ada pertentangan antara sumpah prajurit dengan KEPPH. Sebagai hakim militer maka diharuskan independen, sedangkan juga terikat sebagai anggota militer yang taat pada perintah atasan. Sebagai prajurit memang harus tunduk pada perintah atasan. Perintah yang harus diikuti adalah perintah berdasarkan UU.
 
“Jika tidak sesuai UU, misalnya intervensi dalam pemeriksaan perkara, hal tersebut tidak bisa dilakukan. Apalagi sekarang ini peradilan militer berada di bawah di kekuasaan kehakiman, sehingga intervensi semakin kecil. Kecenderungan yang ada anggota militer juga semakin taat pada peraturan yang tidak hanya berasal dari militer, tapi juga sipil tergantung pada kasusnya. Meskipun masih ada kasus pihak yang mencona intervensi, hal tersebut semakin berkurang,” beber Magister Hukum dari Sheffield University, Inggris ini.
 
Lebih lanjut ia juga menegaskan pentingnya independensi hakim yang diiringi dengan akuntabilitas.
 
Hal tersebut tidak terlepas dari pentingnya independensi hakim, termasuk di peradilan militer.
 
“Independensi hakim tanpa akuntabilitas akan membuat hakim tidak terkontrol. Sebaliknya akuntabilitas tanpa independensi akan membuat hakim mudah diintervensi. Untuk itu kedua visi ini harus sama-sama jalan,” tutup peraih Doktoral Hukum dari Universitas Indonesia ini. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait