Nomor: 27/SIARAN PERS/AL/LI.04.01/11/2022

 

UNTUK DITERBITKAN SEGERA

Jakarta, 14 November 2022

 

 

KY: Beberapa Delik terkait Peradilan dalam RKUHP Perlu Disesuaikan

 

Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) sebelumnya telah memenuhi undangan Tim Perumus RKUHP dari Pemerintah dalam kegiatan sosialisasi dan konsultasi publik pada Agustus dan September 2022. Tim Pemerintah menyatakan membuka diri terhadap berbagai masukan, termasuk dari KY. Pada 24 Oktober 2022, KY sudah menyampaikan masukan tertulis secara resmi kepada Tim Perumus RKUHP.

 

Sikap KY disusun dengan dasar kewenangan konstitusional KY untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim, khususnya pada tugas-tugas yang diberikan oleh UU KY dan UU terkait bidang peradilan.

 

Binziad Kadafi, Anggota Komisi Yudisial sekaligus Ketua Bidang SDM, Hukum, Advokasi, Penelitian, dan Pengembangan menyatakan:

 

“Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut, KY berprinsip bahwa pertama, perilaku hakim harus diawasi, agar independensi, imparsialitas, dan akuntabilitasnya dalam memeriksa dan memutus perkara bisa dipastikan. Kedua, kebebasan hakim dalam memberi keadilan bagi pihak-pihak berperkara harus dilindungi, agar hakim dapat memeriksa dan memutus perkara tanpa ancaman dan tekanan. Ketiga, perlindungan terhadap hakim harus berjalan beriringan dengan prinsip transparansi, judicial control, dan kebebasan menyatakan pendapat. Keempat, pengadilan Indonesia perlu terus bertransformasi menjadi modern di antaranya dengan menerapkan sistem peradilan elektronik atau e-court”.

 

Atas berbagai pertimbangan di atas, KY mengkritisi dan memberi masukan terhadap Pasal 280 (di draf 9 November 2022 menjadi Pasal 278) dan Pasal 281 (di draf 9 November 2022 menjadi Pasal 279) RKUHP.

 

Terhadap Pasal 278 huruf a RKUHP

 

KY mengkritisi penggunaan terminologi “pengadilan” dalam rumusannya. Terminologi “pengadilan” cenderung diartikan sebagai “Ketua Pengadilan” selaku pejabat birokrasi tertinggi di Pengadilan. Padahal, tempus yang ingin diatur oleh Pasal 278 huruf a adalah “pada saat sidang berlangsung”, di mana pemegang otoritas tertingginya adalah hakim ketua sidang. Terminologi “hakim ketua sidang” sesuai dengan hukum acara pidana, hukum acara perdata, dan hukum acara peradilan tata usaha negara.

 

Selain itu, frasa “kepentingan proses peradilan” dalam rumusan Pasal 278 huruf a RKUHP harus ditentukan ruang lingkupnya agar tidak kabur dan subjektif. Untuk itu, Tata Tertib Persidangan sebagaimana dikenal dalam KUHAP perlu dimuat dalam rumusan sebagai kriteria. Namun, pembentuk Tata Tertib Persidangan yang berdasarkan Pasal 231 (2) KUHAP adalah Menteri Kehakiman perlu dikontekskan pasca penyatuan atap menjadi Mahkamah Agung. Yang terpenting, Tata Tertib Persidangan tersebut harus disusun secara partisipatif dengan masukan publik yang berarti, setidaknya masukan dari para pelaku peradilan.

 

Di samping itu, mekanisme peringatan oleh hakim ketua sidang sebelum sanksi pidana dijatuhkan harus dimuat dalam Pasal 278 huruf a RKUHP. Sebab, persidangan bisa sangat dinamis dengan adu argumentasi yang saling bersahutan. Karena hakim ketua sidang yang paling memahami dan bertanggungjawab terhadap Tata Tertib Persidangan, dia harus memberi kesempatan terlebih dulu agar siapa pun yang ada di ruang sidang memperbaiki sikap tindaknya.

 

Atas berbagai pertimbangan di atas, usulan KY tentang rumusan baru Pasal 278 huruf a RKUHP adalah:

 

“Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung tidak mematuhi perintah hakim ketua sidang yang dikeluarkan untuk menegakkan Tata Tertib Persidangan padahal telah diperingatkan sebelumnya secara terang dan jelas paling sedikit sebanyak dua kali.”

 

Penjelasan:

“Yang dimaksud dengan Tata Tertib Persidangan adalah berbagai ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara maupun yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan dilaksanakan melalui perintah hakim ketua sidang mengenai perilaku setiap orang yang hadir di persidangan.”

 

Terhadap Pasal 278 huruf b RKUHP

 

Dasar bagi hakim untuk menyatakan ada atau tidaknya “sikap tidak hormat” dalam rumusan Pasal ini harus lebih jelas dan obyektif, di antaranya dengan menentukannya secara detail dalam Tata Tertib Persidangan.

 

Selain itu, definisi “menyerang integritas hakim” yang dimuat dalam Penjelasan Pasal 278 huruf b RKUHP yang memuat contoh di antaranya: “menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur” bisa menjadi ancaman serius bagi pihak-pihak berperkara untuk bersikap kritis terhadap perilaku hakim di persidangan.

 

Hal ini juga bisa menjadi disinsentif bagi pihak-pihak berperkara untuk membuat laporan ke KY atau lembaga pengawas lain karena ada bayang-bayang kriminalisasi.

 

Atas dasar itu, KY mengusulkan agar Pasal 278 huruf b RKUHP dihapus karena sudah tercakup tujuannya maupun normanya dalam rumusan baru Pasal 278 huruf a yang direkomendasikan di atas.

 

Terhadap Pasal 278 huruf c RKUHP

 

Pasal ini mengatur soal perekaman sidang, di mana selama ini hasil rekamannya dapat menjadi dasar kuat bagi KY dalam menindaklanjuti dan memutus ada tidaknya pelanggaran KEPPH ketika ada laporan masyarakat. Sumber rekaman bisa dari KY sendiri melalui kegiatan pemantauan, atau pelapor yang mengikuti langsung jalannya persidangan, atau dari pengadilan. 

 

Menurut KY, tidak ada unsur ketercelaan dari kegiatan perekaman sidang pengadilan sehingga harus dikriminalisasi. Sebab kepentingan akhir yang harus dilindungi adalah ketertiban dan kelancaran persidangan, serta integritas pembuktian, selain keterbukaan sidang untuk umum. Di mana hal ini menjadi kewenangan hakim ketua sidang untuk menjaganya.

 

Biarkan hakim ketua sidang yang menentukan apakah sidang bisa direkam atau dipublikasikan, dengan mengacu pada Tata Tertib Persidangan, serta kebutuhan secara situasional apakah kegiatan perekaman dan publikasi sidang memang dapat mengganggu ketertiban dan kelancaran persidangan atau menciderai integritas proses pembuktian.

 

Apalagi aktivitas perekaman dan publikasi tidak akan bisa dihindarkan dalam sistem peradilan elektronik (e-court) yang sedang digalakkan oleh MA dan berbagai pengadilan sendiri. Untuk itu, Pasal 278 huruf c RKUHP kami usulkan dihapus, karena bisa diakomodasi tujuannya maupun normanya dalam rumusan Pasal 278 huruf a baru yang kami rekomendasikan di atas.

 

Terhadap Pasal 279 ayat (1) RKUHP

 

KY memahami bahwa rumusan Pasal ini mencoba menggabungkan antara Pasal 217 KUHP dan Pasal 218 KUHAP, yang intinya melarang tindakan yang menimbulkan kegaduhan di persidangan. Bedanya, di KUHP sanksi pidananya adalah penjara selama 3 (tiga) minggu dan denda Rp 1.800, sementara di RKUHP menjadi penjara 6 (enam) bulan dan denda kategori II.

Sebaiknya dimuat kriteria obyektif tentang dampak dari kegaduhan. Sebaiknya kriteria yang ditentukan adalah “munculnya gangguan terhadap jalannya sidang” dan ini perlu dimasukkan dalam rumusan Pasal 279 ayat (1) RKUHP.

 

KY setuju bahwa sanksi pidana untuk perbuatan ini sebaiknya ditingkatkan agar bisa menjadi disinsentif yang kuat supaya tidak dilakukan. Namun, sebaiknya sanksi pidana tidak lebih dari penjara 3 bulan agar Pasal ini bisa tetap berada dalam skema tindak pidana ringan. Dengan demikian, hakim ketua sidang bisa langsung menegakkannya melalui penyidik, dengan tata cara yang lebih sederhana.

 

Mekanisme peringatan kepada pelaku sebelum hakim menjatuhkan pidana menurut KY juga perlu diatur di dalamnya.

 

Atas berbagai pertimbangan di atas usulan KY tentang rumusan baru Pasal 279 ayat (1) RKUHP adalah:

 

“Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan di mana hakim sedang menjalankan tugasnya yang sah sehingga timbul gangguan terhadap jalannya sidang pengadilan dimaksud, dan tidak pergi sesudah diperintah 3 (tiga) kali oleh atau atas nama hakim ketua sidang, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

 

Terhadap Pasal 279 ayat (2) RKUHP

 

Soal kegaduhan di luar sidang sebaiknya dihapus dan diatasi dengan mengetatkan protokol persidangan dan keamanan di lingkungan pengadilan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

  

Juru Bicara KY

Miko Ginting

Hp: 087822626362

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Pusat Analisis dan Layanan Informasi KY  

Jl. Kramat Raya No.57, Jakarta Pusat, 

(021) 3906189

www.komisiyudisial.go.id

email: humas@komisiyudisial.go.id 

 

Tanggal Posting: 14 Nov 2022 | Unduh