Independensi Hakim Bagian Dari Esensi Keadilan
Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi dalam diskusi publik Advokasi Hakim dalam rangka Sinergisitas KY dengan Hakim dan Aparatur Penegak Hukum dengan tema “Upaya Pencegahan Perbuatan Anarkis di Persidangan dan Pengadilan Kamis, (3/8) di Surabaya, Jawa Timur.

Surabaya (Komisi Yudisial) – Independensi hakim harus dilindungi, karena sebagai bagian dari esensi keadilan. Namun, perlindungan independensi ini bukan sebagai individual ataupun kelembagaan. Bukan juga menjadi tameng kesalahannya. Keadilan yang harus dilindungi. 

Pernyataan tegas tersebut disampaikan Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi dalam diskusi publik Advokasi Hakim dalam rangka Sinergisitas KY dengan Hakim dan Aparatur Penegak Hukum dengan tema “Upaya Pencegahan Perbuatan Anarkis di Persidangan dan Pengadilan Kamis, (3/8) di Surabaya, Jawa Timur. 

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY menyebutkan, salah satu tugas KY adalah mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Tugas dalam pasal itu disebut advokasi hakim. Sejak tahun 2013 hingga tahun 2022, KY sudah menangani 85 perbuatan merendahkan kehormatan hakim (PMKH). Di tahun 2023, sudah ada 14 pelanggaran PMKH yang ditangani oleh KY. 

Kadafi menjelaskan bahwa pelanggaran PMKH tersebut baik berupa tekanan, perusakan fasilitas peradilan, maupun teror yang bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan putusan oleh hakim, atau ketidakpuasan atas putusan. Belum lama ini terjadi aksi PMKH di Pengadilan Agama Lumajang. 

Laporan PMKH yang masuk ke KY bukanlah jumlah yang besar. Apalagi sebagian besar kasus PMKH yang ditangani KY bersumber dari media massa. Minimnya pelaporan PMKH oleh hakim karena minimnya sosialisasi dan dianggap kurang populer dibanding tugas KY yang lain. 

“Minimnya respons hakim, karena dianggap PMKH adalah dinamika dalam peradilan, terutama di pengadilan yang banyak perkara. Hal ini dianggap bagian dari risiko kerja, dan hakim memilih lebih baik fokus pada persidangan,” beber Kadafi.

KY mengajak peserta yang hadir untuk berkomitmen dan mengambil langkah pencegahan PMKH. Mulai dari advokat untuk mematuhi UU Advokat bahwa advokat diharuskan menghormati semua pihak dalam peradilan dan mengungkap perkara secara profesional. Untuk jaksa, maka juga diminta menjalankan tugas berdasarkan kode etik. Jaksa juga harus hormat pada proses persidangan. Adapun kepolisian diberikan wewenang untuk menjaga keamanan peradilan. Bagi hakim, lanjut Kadafi, harus menjunjung tinggi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dalam persidangan. Agar yang kalah, mereka merasa kalah secara terhormat.  Dengan langkah tersebut, kepuasan pencari keadilan akan meningkat dan perbuatan PMKH bisa dicegah. 

"Berbagai saran selama kegiatan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi KY dalam melakukan tugas advokasi hakim dan bagi aparat peradilan sebagai bentuk penegakan keadilan,” pungkas Kadafi. 

Diskusi publik ini dihadiri dari unsur hakim, jaksa, polisi, dan advokat maupun dari Pemerintah Daerah Jawa Timur, Pemerintah Kota Surabaya, serta kalangan akademisi dengan jumlah peserta 60 (enam puluh) orang. 

Hadir sebagai narasumber adalah Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya Kresna Menon, Kepala Seksi Orang dan Harta Benda pada Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Wahyu Hidayatullah, Kasubbidsunluhkum Bidkum Polda Jatim Sarwo Waskito, Juru Bicara KY Miko Ginting, dan Ketua DPC Peradi Surabaya Hariyanto. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait