KY Ajak Publik Pantau Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum
Wakil Ketua KY Siti Nurdjanah bersama Anggota KY Sukma Violetta saat membuka FGD Optimalisasi Peran Masyarakat terhadap Pemantauan Perkara Pemantauan PBH, Rabu (13/09) di Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Tren kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya mengalami peningkatan. Meski begitu, jumlah permohonan pemantauan persidangan ke Komisi Yudisial (KY) terhadap kasus-kasus rentan yang melibatkan perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) menunjukkan data yang sebaliknya. Dalam melakukan pengawasan preventif terkait pemantauan persidangan, KY menggagas penyusunan instrumen yang nantinya menjadi pegangan bagi pendamping, khususnya pada komunitas PBH agar dapat melaksanakan pemantauan persidangan secara mandiri.

 

"Khusus di pagi ini, kita akan berdiskusi mengenai pemantauan hakim yang menyidangkan perkara PBH. Oleh karena itu, KY memberikan perhatian terhadap permasalahan tersebut dengan membuat buku panduan pemantauan PBH. Buku panduan ini masih setengah, masih belum selesai. Diskusi ini bermaksud agar KY mendapatkan masukan dan kritik agar buku ini bisa sempurna," ungkap Wakil Ketua KY Siti Nurdjanah saat membuka FGD Optimalisasi Peran Masyarakat terhadap Pemantauan Perkara Pemantauan PBH, Rabu (13/09) di Jakarta.

 

FGD ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Anggota KY Sukma Violetta yang membahas mengenai Optimalisasi Peran Masyarakat terhadap Pemantauan Perkara Pemantauan PBH, Kepala Bagian Pemantauan Perilaku Hakim Niniek Ariyani sebagai inisiator untuk mengulas tentang buku panduan PBH, dan Kepala Bidang Pemanfaatan IPTEK Deputi Pemberdayaan Pemuda/Penanggung Jawab Perluasan Pendidikan Formal Kemenpora Dwi Agus Susilo yang akan memberikan perspektif sebagai user non-hukum dalam pemanfaatan instrumen buku Panduan Pemantauan PBH.

 

Kendala KY dalam pemantauan persidangan perkara PBH dijelaskan Sukma terjadi karena dua sebab. Pertama karena tugas KY dalam pemantauan persidangan banyak belum diketahui oleh banyak orang. Kedua disebabkan oleh perkara PBH sendiri yang seringnya bersifat tertutup dalam persidangan.

 

"Pemantauan di persidangan akhirnya harus dilakukan oleh orang yang paling mungkin berada di dalam proses persidangan tersebut karena banyak sidang yang tertutup. Oleh karena itu, kerja sama ini melibatkan masyarakat LSM dan lembaga lainnya yang dalam hal ini memiliki jejaring sebagai pendamping dari PBH di persidangan. Pertanyaan besarnya adalah apakah instrumen pemantauan persidangan ini sudah tepat atau belum menurut Ibu dan Bapak yang paling mengetahui keadaan di lapangan," lanjut Sukma.

 

Diskusi secara hybrid ini selain dihadiri undangan dari KY juga dihadiri perwakilan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,  Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Sosial Komnas HAM, Kemendikbudristek, BAPPENAS, KPAI, Komisi Kejaksaan RI, civil society organization, serta mitra pembangunan yang saling berdiskusi memberi masukan, kritik dan solusi dalam kerangka instrumen pemantauan PBH .

 

Hasil diskusi yang diselenggarakan atas kolaborasi AIPJ2 dan KY ini dicatat, diakomodir, dan akan dirangkum secara keseluruhan sebagai bahan penyempurnaan buku Pedoman Pemantauan Persidangan Perkara PBH yang akan KY luncurkan di Oktober 2023 mendatang. (KY/Halimatu/Festy)


Berita Terkait