Persidangan Pemilu Diharapkan Jujur dan Adil
Setelah pembacaan dan penandatanganan Deklarasi Pengawasan Persidangan Perkara Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk peradilan jujur dan adil, Komisi Yudisial (KY) juga menyelenggarakan diskusi publik bertema "Peranan Lembaga dan Organisasi terhadap Permasalahan Hukum yang Muncul dalam Proses Pemilu dan Pemilihan”, Rabu (17/1) di Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) Setelah pembacaan dan penandatanganan Deklarasi Pengawasan Persidangan Perkara Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk peradilan jujur dan adil, Komisi Yudisial (KY) juga menyelenggarakan diskusi publik bertema "Peranan Lembaga dan Organisasi terhadap Permasalahan Hukum yang Muncul dalam Proses Pemilu dan Pilkada”, Rabu (17/1) di Jakarta.

Diskusi ini secara garis besar membahas mengenai mekanisme penanganan dan penyelesaian perkara pemilu yang melibatkan Mahkamah Agung (MA), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, diskusi juga memberikan kesempatan bagi masyarakat sipil, pemuda, dan akademisi yang diwakili Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) agar dapat berperan aktif dalam pemantauan persidangan perkara pemilu. 

Sigit Joyowardono mewakili KPU menegaskan, sinergi bersama KY dan KPU dalam pemantauan persidangan perkara pemilu menjadi angin segar bagi KPU sendiri.

"Saya merasa tenang karena diawasi oleh KY. Yang utama perkara memang harus ditangani hakim karier khusus yang berpengalaman tiga tahun, jika tersedia. Kami berterima kasih telah membantu, sehingga persidangan berlangsung adil dan jujur. Harapannya semoga dapat segera dilaksanakan," harap Sigit.

Masih dalam penanganan pemilu, narasumber dari Bawaslu Ahmad Amrullah Sudiarto memberi gambaran bagaimana perkara pemilu di Indonesia dipetakan menjadi tiga jenis pelanggaran, yakni masalah kode etik, administrasi, dan pidana. 

Terkait teknis penanganan sengketa pemilu di peradilan, Ketua Kamar Pidana MA Suharto tetap menyoroti bahwa pemantauan persidangan tetap tidak dimaksudkan untuk menghilangkan kemerdekaan hakim dalam memutus.

"Pemantauan persidangan ini adalah upaya bersama-sama menjadikan kekuasaan peradilan untuk merdeka, tentu hakim diberikan pembekalan juga imbauan untuk hati-hati dalam menanganinya, seperti tetap pada rambu-rambu. Contohnya, penyelesaian paling lama tujuh hari kerja sejak pelimpahan. Jangan sampai pidana ini menjadi hiruk-pikuk ketidakpastian pemilu. Memang hasil dari proses persidangan ini harus ada sanksi pidananya, tetapi sanksi pidana tidak boleh mengganggu tahapan pemilu," jelas Suharto.

Di sisi lain, Sanusi dari Kemenpora, Fadli Ramadhanil dari Perludem, dan Parulian P. Aritonang dari FHUI sependapat bahwa baik masyarakat sipil, pemuda, dan akademisi memiliki peran dan komitmen dalam proses pemilu agar terselenggara sesuai prinsip penyelenggaraan Pemilu di Indonesia yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

"Memang butuh keterlibatan semua pihak meski benteng terakhirnya ada di MA. Masyarakat menekan dengan kemauan sendiri, tetapi integritas peradilan harus dipertahankan. Kita berharap besar pada hakim, namun benteng terakhir kedua adalah KY. KY juga perlu siap menangani laporan dengan cepat dan menyesuaikan dengan peraturan penyelesaian perkara pemilu di pengadilan yang singkat. KY harus harus mampu bertindak tegas kepada hakim agar keadilan terasa dalam pemilu, sedangkan kami di universitas menjadi moral guide dengan mengambil peran netral dan aktif memantau baik di tingkat pertama ataupun di tingkat banding," harap Parulian. (KY/Halimatu/Festy)


Berita Terkait