CHA Agus Suharsono: Indonesia Belum Mampu Frontal Melawan Karena Masih Bergantung pada AS
Hari terakhir Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung (CHA) diikuti enam calon dari Kamar Tata Usaha Negara (TUN), khusus pajak, Sabtu (9/8/2025) di Auditorium KY, Jakarta. CHA pertama yang diwawancara adalah Hakim Pengadilan Pajak Agus Suharsono.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Hari terakhir Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung (CHA) diikuti enam calon dari Kamar Tata Usaha Negara (TUN), khusus pajak, Sabtu (9/8/2025) di Auditorium KY, Jakarta. Para peserta diwawancarai oleh Pimpinan dan Anggota KY didampingi Hakim Agung Hary Djatmiko sebagai pakar kompetensi bidang TUN khusus pajak dan mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan sebagai pakar kenegarawanan. CHA  pertama yang diwawancara adalah Hakim Pengadilan Pajak Agus Suharsono. Salah satu pertanyaan yang diajukan soal dampak kebijakan perang tarif Trump bagi Indonesia. 

Agus menyatakan Trump tidak hanya mengguncang Indonesia, tetapi juga dunia dengan pengenaan tarif. Trump mengambil sikap tersebut karena utang Amerika Serikat besar dan defisit perdagangan internasional. Amerika sepertinya tidak setuju dengan adanya BRICS, yang merupakan singkatan dari Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan, sehingga Brasil, India, dan Cina dikenakan tarif lebih tinggi. 

“Saya setuju bahwa hal itu akan mengurangi penerimaan biaya masuk (bagi Indonesia). Tapi secara filsafat pajak, hal itu memiliki fungsi regulerend dan budgetair,” ungkap Agus. 

Fungsi regulerend atau mengatur memungkinkan pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Sementara fungsi budgetair atau anggaran memungkinkan pajak sebagai sumber  pendapatan negara dan membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Agus berpendapat, jika Indonesia melepas fungsi budgetair, fungsi regulerend masih bisa dipertahankan.

“Kita tidak bisa secara frontal melawan negara yang sangat kuat, karena kita masih tergantung,” buka Agus.

Jika Indonesia tetap mengekspor dengan tarif yang tidak disepakati, maka dampaknya ekspor Indonesia akan terhenti, karena belum punya pangsa pasar baru. Dampaknya, pabrik-pabrik melakukan ekspor ke Amerika Serikat bisa tutup dan karyawan yang di-PHK bisa menjadi masalah nasional. Biaya untuk political cost, kesejahteraan, dan lapangan kerja bisa lebih tinggi. 

Ia memberikan gambaran di mana Indonesia mengekspor ke Amerika Serikat barang padat karya, seperti pakaian dan alas kaki. Sementara Indonesia mengimpor barang dari Amerika Serikat berupa barang teknologi dan alat-alat pabrik. 

"Jadi, sebenarnya dikenakan tarif 0 persen untuk barang dari Amerika bisa membuat harga barang menjadi lebih murah, dan menghidupkan sektor real dengan  bantuan teknologi dan alat-alat itu," lanjut Agus.

Calon meyakini bahwa perang tarif harus dipandang secara kompleks, jangan hanya berbasis budgetair, tetapi regulerend. "Karena tujuannya sama, sesuai Pasal 1 angka 1 Undang-Undang KUP, pajak itu untuk kesejahteraan rakyat,” pungkas Agus.  (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait