
Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti soal pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Wakil Ketua Komisi III DPR RI Sari Yuliati meminta penjelasan KY terkait kendala yang dihadapi KY dalam melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang menangani perkara dengan sensitivitas tinggi, seperti kasus korupsi, hak asasi manusia, atau kasus yang melibatkan pejabat publik.
Anggota KY Joko Sasmito mengungkap penanganan kasus yang menarik perhatian publik sering kali memunculkan rasa kekecewaan publik karena putusan dianggap tidak adil. Hal ini kemudian memunculkan resistensi dari hakim dan Mahkamah Agung (MA) karena KY dinilai mencampuri ranah teknis yudisial.
"Bagi hakim dan MA, KY dianggap tidak berwenang untuk melakukan pemeriksaan atau penanganan atas hal-hal yang bersifat teknis yudisial. Untuk itu, KY selalu berusaha mencari pelanggaran KEPPH dengan menemukan motif-motif terselubung atas munculnya putusan kontroversial tersebut," ujar Joko Sasmito saat memenuhi undangan Komisi III DPR dalam rapat kerja, Rabu (1/10/2025) di Gedung DPR, Jakarta.
Joko juga menyebut kendala pengawasan hakim lainnya, seperti kesulitan mengakses data, mempersulit pemanggilan, tim pemeriksa MA seperti berkejaran melakukan pemeriksaan dengan KY. Ia juga mengungkap jika tim pemeriksa MA telah melakukan pemeriksaan, sering kali data atau informasi seadanya, sehingga hasilnya tidak terbukti. "Atau jika pun terbukti, sanksi yang dikenakan jauh lebih ringan dibandingkan jika ditangani KY," ujar Joko.
Senada, Anggota KY Binziad Kadafi mengamini KY masih menghadapi tantangan serius dalam menjalankan fungsi pengawasan. Menurutnya, sering kali MA menilai bahwa KY mencampuri wilayah teknis yudisial. Kadafi menegaskan bahwa Undang-Undang KY telah mengatur mekanisme pemeriksaan bersama antara KY dan MA ketika terjadi perbedaan pendapat.
"Tetapi kalau tidak tercapai titik temu, sudah semestinya pendapat KY yang menjadi rujukan,” kata Kadafi.
Lebih lanjut, Kadafi juga mengangkat persoalan perlindungan hukum bagi komisioner. “Imunitas kami sangat terbatas. Sudah ada tiga komisioner sebelum kami yang mengalami kriminalisasi,” ujarnya. Ia berharap revisi undang-undang dapat memberikan kepastian agar KY dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan.
Merespons hal serupa, Wakil Ketua KY Siti Nurdjanah memastikan bahwa KY tidak pernah memberi perlakuan yang berbeda dalam memproses laporan. “Apakah dia hakim biasa atau ketua pengadilan, semua diproses dengan asas yang sama. Jabatan tidak mempengaruhi penanganan laporan,” pungkas Nurdjanah.
Anggota KY Mukti Fajar Nur Dewata menambahkan, KY juga memiliki tugas untuk melindungi kehormatan hakim melalui advokasi hakim. Namun, ia mengungkap bahwa laporan yang masuk masih didominasi kekerasan fisik, sementara intervensi terhadap integritas belum banyak diungkapkan.
"Kalau ada intimidasi atau ancaman, kami siap mendampingi,” pungkas Mukti Fajar.(KY/Feyza/Festy)