Kode Etik Refleksi Timbal Balik Jabatan Hakim dan Masyarakat
Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi saat memberikan keynote speech pada seri kedua Parade Seminar Nasional Etika Publik KY Tahun 2025 "Kompas Etika Publik: Antara Idealita dan Realitas Moral Birokrasi", Selasa (4/11/2025) di Auditorium KY, Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Etika profesi biasanya dirumuskan dalam kode etik dan secara harfiah berarti sistem etika yang dikodifikasikan. Di lingkungan profesi hukum Indonesia, dikenal berbagai kode etik, seperti Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), Kode Etik Advokat Indonesia, Kode Perilaku Jaksa, dan lain-lain. 

“Kode etik seperti membatasi ruang gerak profesional hukum saat menjalankan profesi, tetapi justru menjembatani interaksinya dengan masyarakat luas,” ujar Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi saat memberikan keynote speech pada seri kedua Parade Seminar Nasional Etika Publik KY Tahun 2025 "Kompas Etika Publik: Antara Idealita dan Realitas Moral Birokrasi", Selasa (4/11/2025) di Auditorium KY, Jakarta.

Kode etik menjadi semacam kontrak sosial terkait hubungan kepercayaan antara profesional hukum, termasuk hakim, dengan masyarakat (public trust).

“Dalam konteks inilah muncul peran etikawan. Merekalah yang akan memastikan pemahaman para profesional hukum akan kode etik profesi. Memperjelas kode etik profesi sebagai pedoman berperilaku, serta menilai kesesuaian atau kesenjangan suatu perilaku dengan kode etik,” beber Kadafi.

Di awal era reformasi, oleh konstitusi dibentuklah KY, sebuah lembaga mandiri yang keanggotaannya terdiri dari mereka yang diharapkan berperan sebagai etikawan. Para etikawan ini diberi mandat untuk memastikan bahwa posisi tertinggi dalam sistem peradilan (hakim agung) diisi oleh orang-orang etis, serta mendorong kepatuhan akan etika di kalangan hakim.

"Apalagi bagi hakim, norma integritas sama pentingnya, bahkan lebih mengemuka dibanding norma profesionalisme semata,” pungkas Kadafi. (KY/Noer/Festy).