Penegakan Kode Etik Advokat Harus Tegas
Anggota Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta menjadi salah satu narasumber dalam webinar yang diprakarsai oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) pada Selasa (23/06).

Jakarta (Komisi Yudisial) - Anggota Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta menjadi salah satu narasumber dalam webinar yang diprakarsai oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) pada Selasa (23/06). Webinar ini merupakan rangkaian dari Dissertation (PHD Thesis) Defence at Leiden University dengan judul “How Lawyer Win Land Conflicts For Corporation” oleh Santi Kouwagam. Hadir sebagai narasumber lain adalah Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari, Advokat Senior Todung Mulya Lubis, dan Anggota DPP IKADIN Erwin Natosmal Oemar sebagai moderator.
 
Sukma membuka pemaparan dengan menyatakan bahwa judul disertasi yang diangkat ini sangat menarik karena terkait bagaimana advokat memenangkan perkara, dan keberadaan mafia peradilan di Indonesia. Dari berbagai literasi, secara umum ada tiga macam advokat, yakni tipe profesional, broker, dan fixer.
 
“Tipe broker yang paling banyak dan membuat masalah di peradilan, karena mereka tidak segan dalam memenangkan perkara mengorbankan para pencari keadilan, yang pada akhirnya para pencari keadilan ini melapor ke KY. Setiap tahun KY menerima 1500 hingga 1700-an laporan pengaduan masyarakat,” ujar Sukma.
 
Untuk itu, penegakan kode etik menjadi penting sebagai instrumen pencegah. Lebih lanjut ia menegaskan, bahwa sudah seharusnya ada kode etik tunggal khusus advokat yang bisa diakui bersama. Kalaupun tidak, lanjutnya, kurang lebih isi kode etik haruslah sama. Ia mencontohkan hakim yang terikat Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang merupakan hasil kesepakatan dengan KY dan Mahkamah Agung (MA).
 
“Kode etik ini sangat bermanfaat sebagai langkah preventif. Misalnya hakim bertemu dengan advokat. KY dan MA bisa melakukan teguran atau pemeriksaan karena melanggar KEPPH, sehingga kesempatan melakukan pelanggaran yang lebih berat bisa dihindari,” kata Sukma.
 
Lanjutnya, "banyak aparat penegak hukum yang melakukan KKN ditangkap oleh KPK, dan advokat menjadi salah satu unsur yang banyak ditangkap karena praktik suap. Berarti ada permasalahan krusial di situ yang harus dicari solusinya".
 
Sukma berharap, di luar isu terwujud tidaknya organisasi tunggal advokat,  diharapkan akan dibentuk kode etik advokat dan dewan etik yang disepakati bersama oleh organisasi-organisasi advokat yang ada.
 
“Kita perlu percepatan dalam menangani isu ini, karena sudah lama, sudah puluhan tahun.  Kita bisa saling kerja sama. Setidaknya ada kesepakatan bersama agar ada upaya menaungi aparat penegak hukum tidak melakukan praktik kotor terjadi lagi,” harap Sukma. (KY/Noer/Festy)
 

Berita Terkait