Keilmuan Melahirkan Putusan Berkualitas
Memasuki hari terakhir pelaksanaan workshop jarak jauh Peningkatan Kapasitas Hakim menghadirkan narasumber Shidarta yang merupakan akademisi dan praktisi dari Universitas Bina Nusantara Shidarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Memasuki hari terakhir pelaksanaan workshop jarak jauh Peningkatan Kapasitas Hakim menghadirkan narasumber Shidarta yang merupakan akademisi dan praktisi dari Universitas Bina Nusantara Shidarta. Menurutnya, penalaran dan penemuan hukum penting dilakukan oleh hakim karena dalam suatu kasus hukum seringkali terjadi gap antara fakta yang ada dengan norma. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan sulitnya hakim memberikan putusan.
 
“Dalam suatu kasus hukum terjadi gap antara fakta dan norma yang terlampau jauh. Maka di situlah perlunya penalaran dan penemuan hukum untuk dapat memperluas makna sehingga bisa mengisi gap tersebut dengan baik,” jelas Shidarta.
 
Dengan demikian agar dapat melakukan penalaran hukum yang baik, lanjut Shidarta, seorang hakim dalam mengadili suatu perkara kerap dituntut memiliki keilmuan yang tinggi. Suatu penalaran dan penemuan hukum itulah yang melahirkan putusan berkualitas.
 
“Legal reasoning is ordinary reasoning yang juga dilakukan oleh masyarakat umum di mana mereka sendiri juga melakukan penalaran hukum dalam mengambil keputusan. Namun, suatu penalaran hukum yang dilakukan hakim itu merupakan penalaran yang jauh lebih berbobot di mana berisikan nilai-nilai dan asas yang perlu dipahami dalam proses memberikan putusan. Dengan memahami nilai dan asas tersebut nantinya akan melahirkan putusan yang berkualitas,” ungkap peneliti hukum senior itu.
 
Shidarta juga mengatakan bahwa Ilmu Hukum adalah ilmu praktis. Meski demikian, Ilmu Hukum tidak selalu faktual karena bisa berbentuk fiksi. Hal ini menjadikan IImu Hukum unik dan berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, seorang hakim penting untuk memikirkan seluruh aspek yang ada, termasuk mengetahui pola perilaku masyarakat agar dapat memisahkan mana fakta dan fiksi.
 
“Hakim harus dapat memisahkan mana fakta dan mana fiksi. Untuk itu, harus mengetahui pola perilaku masyarakat yang dibentuk dari dua hal, yaitu: norma dan nomos (kebiasaan di masyarakat). Pada norma dibentuk dari moralitas dan moral, sedangkan nomos terbentuk dari kebiasaan dan perilaku komunitas (fakta). Dengan memahami pola terbentuknya perilaku ini, hakim dapat memisahkan antara fakta dan fiksi dengan mempertimbangkan darimana suatu peristiwa berasal sehingga bisa saja suatu fakta menjadi fiksi dan fiksi dapat menjadi fakta,” pungkas Shidarta. (KY/Adnan/Festy)

Berita Terkait