CHA Sukri Sulumin: Alasan Peninjauan Kembali Harus Dibatasi
Calon hakim agung (CHA) Kamar Pidana kelima yang diwawancara adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Samarinda Sukri Sulumin.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim agung (CHA) Kamar Pidana kelima yang diwawancara adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Samarinda Sukri Sulumin. Sukri dicecar mengenai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Menurut Sukri, Perma tersebut bukan bentuk intervensi MA. Ada banyak petunjuk yang diberikan MA kepada peradilan di bawahnya terkait teknis peradilan, dan selama ini diikuti dengan baik. Pedoman itu tidak bersifat memaksakan dalam proses berperkara, tapi hanya sebagai guidance. 

“Dengan adanya Perma ini, MA memperjelas tentang pemidanaan ditentukan dengan kerugian negara, pengembalian negara, bagaimana denda diperlakukan, hak-hak pencabutan, pidana tambahan diperlakukan. Jadi menurut saya ini bukan dari bagian intervensi MA,” ujar Sukri dalam wawancara, Selasa (31/1) di Auditorium KY, Jakarta.

Sukri juga disinggung dengan gejala peninjauan kembali (PK) di perkara pidana mengalami tren kenaikan. Alasan utama menurut Sukri adalah karena PK perkara pidana tidak ada pembatasan waktu, beda dengan perkara perdata. Sukri berharap ada langkah ke depan untuk revisi ketentuan KUHAP tentang PK. 

"Karena sejak awal merupakan upaya hukum luar biasa. Jadi, namanya juga luar biasa, maka syaratnya mesti diperketat. Pertama, batasi limit tenggang waktu untuk PK. Kedua, mesti ada kehati-hatian menentukan syarat PK. Kalau novum sebagai bukti baru, bisa dibuat-buat sekarang. Tapi yang riskan ketika mempunyai kekhilafan yang nyata, menimbulkam dampak hukum di tengah masyarakat, sehinggga hal itu bisa di-PK. Karena menyangkut ketentuan pidana, satu-satunya cara membatasi PK melalui undang-undang. Karena yang bisa mencamtumkan ancaman pidana, adalah undang-undang dan Perda,” jelas Sukri. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait