CHA Achmad Choiri: Hukum di Masyarakat Tidak Selalu Harus Diikuti
CHA Kamar Agama, dengan sebagai CHA pertama yang diwawancara Achmad Choiri.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) menyelenggarakan Wawancara Seleksi Calon Hakim Agung (CHA), Selasa-Kamis (12-14/11/2019) di Auditorium KY, Jakarta.
 
Memasuki hari pertama adalah sesi wawancara untuk kamar Agama dan kamar Militer. CHA yang pertama mendapat giliran diwawancara dari Anggota KY, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang bertindak sebagai negarawan, dan mantan Hakim Agung Ahmad Kamil adalah 
 
Sesi pertama dilakukan bagi CHA Kamar Agama, dengan sebagai CHA pertama yang diwawancara Achmad Choiri. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Samarinda ini ditanyakan pendapatnya tentang masih banyaknya hukum kolonial yang berlaku di Indonesia. 
 
Choiri menjawab bahwa ketika pemerintah sudah membuat KUHP bertahun-tahun, saat akan disahkan ternyata menjadi polemik pro dan kontra dalam masyarakat. Gelombang kontra begitu dominan sehingga proses pengesahan KUHP menjadi ditunda.
 
"Ada suara kepentingan yang tidak terakomodir dalam KUHP, dan membentuk kekuatan yang mengganjal pengesahan. Jika mengakomodir semua kepentingan masyarakat yang ada, sulit untuk membentuk UU. Tentu hal tersebut akan menimbulkan diskresi. Maka perlu diatur agar bagaimana sisa kepentingan yang ada bisa diakomodir," ujar Choiri.
 
Choiri setuju bahwa hukum yang hidup di masyarakat tidak harus diikuti, karena tidak sesuai dengan tuntutan baru. Misalnya terkait UU Perkawinan, batas usia perkawinan dibuat menjadi minimal 19 baik bagi laki-laki maupun perempuan. Karena dapat rangka membangun manusia secara utuh, dan matang dari segi mental, pendidikan dan pengalaman.
 
"Di dalam UU perkawinan nikah siri itu ada ancaman denda dan kurungan, baik bagi pelaku maupun yang menikahkan, tapi tidak pernah ditegakkan, sehingga sanksi di UU perkawinan menjadi mandul," buka Choiri.
 
Dalam kesempatan tersebut, Choiri juga menyampaikan praktik yang sering dilakukan dalam melindungi kepentingan anak korban perceraian. Di mana dalam kewajiban memenuhi kebutuhan nafkah anak, kami kaitkan dengan pasal di KUH Perdata, bahwa barang terutang bisa menjadi jaminan kreditor. Di mana nafkah anak dianggap sebagai hutang bagi tergugat. Oleh karena itu barang-barang yang dimiliki oleh tergugat yang sekarang dan akan datang jika ekonominya meningkatkan, digunakan sebagai jaminan. 
 
"Hal tersebut manjur sebagai terapi psikis bagi tergugat. Kami banyak mendapat masukan dan apresiasi atas putusan tersebut. Dalam rangka perlindungan hak anak, dalam jabatan saya sebagai hakim, saya tidak mengganggap hal tersebut sebagai ultra petita yang melanggar hukum acara," tegas Choiri. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait