CHA Dwi Sugiarto: Hukum Perdata Indonesia Belum Menjangkau Revolusi Industri 4.0
Memasuki hari kedua seleksi wawancara terbuka calon hakim agung dimulai oleh CHA Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar Dwi Sugiarto untuk kamar Perdata, Rabu (13/11), di Auditorium KY, Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Memasuki hari kedua seleksi wawancara terbuka calon hakim agung dimulai oleh CHA Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar Dwi Sugiarto untuk kamar Perdata, Rabu (13/11), di Auditorium KY, Jakarta.
 
Dalam kesempatan itu,. Dwi Sugiarto menjawab pertanyaan dari Anggota KY, mantan Ketua MA Bagir Manan, dan mantan Hakim Agung M. Saleh. 
 
Menurut Dwi, hukum perdata di Indonesia masih belum menjangkau perkembangan revolusi industri 4.0. KUH Perdata belum menjangkau perkembangan transaksi online, namun masih bisa ditutupi dengan pecahan dari UU lain seperti UU IT dan lainnya. Walaupun demikian, bisa dilakukan interpretasi antologi, tentang konsep perjanjian, sehingga bisa menjangkau kekosongan hukumnya.
 
"Misalnya dalam melakukan transaksi tranportasi online, kedua belah pihak untuk melakukan pengantaran dan pembayaran dari titik A ke B. Jika salah satu pihak mengingkari, padahal di aplikasi sudah ada kesepakatan pengantaran, ini bisa masuk dalam wanprestasi. Bisa diajukan ke hukum, karena pelanggaran wanprestasi ini perkembangan dari hukum perdata tentang pengingkaran perjanjian," jabar Dwi.
 
Secara prinsip, Dwi setuju dilakukan ekseminasi untuk putusan di tingkat pertama yang 'nyeleneh'. Namun dalam aturannya, putusan yang belum inkracht tidak boleh dikomentari atau diekseminasi.
 
"Tapi jika KY secara internal melakukan ekseminasi putusan di tingkat pertama dengan tujuan menjadi jembatan penanganan kasus ke MA agar putusan di tingkat berikutnya menjadi akuntabel, saya setuju dengan pendapat tersebut," kata Dwi.
 
‌Lebih lanjut Dwi siap datang jika dipanggil oleh KY meskipun pemeriksaan dilakukan terkait teknis yudisial, meskipun hal tersebut menjadi pertentangan antara KY dan MA. Sepanjang melakukan pelanggaran-pelanggaran etik, siap dipanggil. Karena klarifikasi terjadinya pelanggaran bisa bermula dari putusan yang nyeleneh.
 
"Misalnya dalam salah satu perkara pra peradilan, putusannya ultra petita. Dari sini bisa dilihat hakim profesional atau tidak. Profesional dan integritas merupakan poin dari KEPPH. Jadi KY bisa memeriksa dari sudut pandang tersebut. Dan dalam ketentuan terakhir, kode etik memasukkan putusan," ujar Dwi.
 
Putusan memang tidak bisa dibatalkan, namun jika sangat nyeleneh, menurut Dwi KY dan MA bisa memeriksa. 
 
"Misconduct dan teknis yudisial pasti terkait, tidak bisa dipisahkan. Kalau ada putusan yang nyeleneh, Badan Pengawas MA juga tidak tutup mata. Dan jika oknum hakim tersebut tidak hadir saat dipanggil KY, maka sesuai KEPPH, hakim tersebut melanggar poin bertanggung jawab. Sebab putusan adalah tanggung jawab hakim. Jika hakim tidak mau dipanggil, berarti hakim itu tidak bertanggung jawab," tegas Dwi. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait