CHA Sartono: Ketentuan Pajak Lebih Lambat Dibandingkan Perkembangan Ekonomi
Wawancara seleksi calon hakim agung (CHA) 2019 kembali digelar untuk kamar Tata Usaha Negara, khusus pajak. CHA pertama yang diwawancara adalah Wakil Ketua III Pengadilan Pajak Bidang Pembinaan dan Pengawasan Kinerja Hakim Sartono.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Wawancara seleksi calon hakim agung (CHA) 2019 kembali digelar untuk kamar Tata Usaha Negara, khusus pajak. CHA pertama yang diwawancara adalah Wakil Ketua III Pengadilan Pajak Bidang Pembinaan dan Pengawasan Kinerja Hakim Sartono. Hadir sebagai panelis adalah Anggota KY, Siti Zuhro, dan mantan hakim agung H. M. Hary Djatmiko.
 
Sartono menyatakan bahwa permasalahan krusial di pengadilan pajak dari tahun ke tahun adalah perkembangan peraturan pajak yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan ekonomi. Jadi, perbuatan pelanggaran sudah ada terlebih dahulu sebelum ada ketentuan hukum yang mengatur. Misalnya terkait pajak transaksi on line yang sudah dibuat aturannya, tapi dicabut dengan alasan yang kurang jelas.
 
“Padahal pendapatan dari transaksi on line itu sangat menguntungkan, nilainya triliunan. Sudah ada aturan yang mengatur sebelumnya, lalu dicabut tapi tidak ada alasannya. Adapun aturan yang dikeluarkan bulan April 2019 hanya untuk mengejar pemain besar, tapi bagi yang skala lebih kecil aturannya malah dicabut,” beber Sartono.
 
Banyaknya keluhan terhadap pengadilan pajak dari Dirjen Pajak terkait restitusi yang harus dibayarkan kepada wajib pajak, padahal dari petugas pajak menganggap transaksi tersebut fiktif, Sartono menyatakan peradilan pajak berprinsip menegakkan keadilan.
 
“Kami memeriksa berdasarkan bukti yang disampaikan. Wajib pajak dapat memberikan faktur penjualan. Sedangkan saat diminta ke Petugas Pajak, mereka tidak bisa memberikan bukti. Sedangkan hakim memutus berdasarkan bukti yang ada,” jelas Sartono.
 
Pengadilan Pajak berfungsi sebagai rem dan memberikan warning kepada petugas pajak agar cermat dalam melakukan penghitungan pajak. Sartono tidak setuju jika pengadilan pajak dianggap sebagai pihak yang mengganggu penerimaan pajak negara.
 
“Apakah dengan pengembalian restitusi bermanfaat bagi wajib pajak? Iya, karena dapat menyejahterakan karyawannya. Apakah pengadilan pajak menyengsarakan keuangan negara? Kasus yang kami terima nilainya hanya tiga persen dari penerimaan pajak negara, jadi sesungguhnya tidak terlalu berpengaruh,” ujar Sartono.
 
Terkait kedudukan pengadilan pajak dalam pengawasan, Sartono menyampaikan karena pengadilan pajak berada di bawah Peradilan Tata Usaha Negara, jadi hakim pajak juga menjadi objek pengawasan KY.
 
“Menurut saya, jika terjadi pelanggaran etik yang berujung pemecatan, tidak perlu dibuat Majelis Kehormatan Hakim (MKH) khusus pajak, cukup ikuti ketentuan dari Mahkamah Agung dan KY saja. Walaupun dimungkinkan oleh UU Pengadilan Pajak, tapi kita harus tunduk pada aturan terbaru, bukannya tunduk pada aturan yang lebih lama,” tegas Sartono. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait