Calon Hakim ad hoc Hubungan Indutrial pada MA Sugiyanto: Outsourcing Relevan Jika Dilakukan Berdasarkan UU
Calon hakim ad hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung (MA) terakhir yang diwawancara pada Senin (18/11) adalah Hakim ad hoc PHI pada PN Semarang Sugiyanto, yang merupakan perwakilan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim ad hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung (MA) terakhir yang diwawancara pada Senin (18/11) adalah Hakim ad hoc PHI pada PN Semarang Sugiyanto, yang merupakan perwakilan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
 
Sistem outsourcing tenaga kerja di Indonesia menurut Sugiyanto masih relevan, meskipun pertimbangannya harus berdasarkan UU. Banyak kasus yang ditemukan di mana outsourcing tidak sesuai dengan UU yang berlaku. Perusahaan menggunakan tenaga oustsourcing untuk bisa mendapatkan tenaga kerja dengan biaya murah, padahal tujuan utama outsourcing untuk melakukan pembagian kerja antara core business dan penunjang.
 
“Perdebatan muncul mana yang dianggap penunjang, mana core business. Karena yang menentukan adalah pengusaha. Sering ditemukan kasus core business dianggap sebagai penunjang, demi menekan biaya,” buka Sugiyanto.
 
Menyambung hal tersebut, panelis menanyakan persoalan penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di dunia kerja. Sugiyanto menyebut ada tiga syarat.
 
“Pertama tidak boleh dalam proses produksi, penyelesaian pekerjaannya tidak boleh lebih dari tiga tahun, dan bukan pekerjaan musiman. Pelanggaran akan PKWT sering terjadi, sehingga terjadi perselisihan di pengadilan. Seharusnya banyak dilakukan sosialisasi kepada pengusaha dan pekerja agar tidak timbul perselisihan di kemudian hari,” jelas Sugiyanto.
 
PKWT sudah dibatasi, karena jarang pekerja yang mau melakukan pekerjaan PKWT. PKWT sering menimbulkan pelanggaran, misalnya pengakhiran kerja secara sepihak. Walaupun alasannya kasuistis, karena ada kesalahan dari salah satu pihak. Misalnya pekerja melanggar perjanjian kerja dan UU. Namun jika pekerja memberikan performa kinerja yang baik dan tidak ada perselisihan, seharusnya pekerja diberikan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
 
“Permasalahan timbul karena pengusaha yang memanfaatkan ketidaktahuan pekerjaan mengenai perbedaan PKWT dan PKWTT. Pekerja karena posisinya lemah dan takut, jadi asal saja untuk tanda tangan kontrak atau perjanjian yang diberikan. Saat terjadi perselisihan karena diberhentikan secara sepihak karena alasan PKWT, pekerja baru paham dan ingin diperkerjakan kembali. Dalam kasus seperti ini, hakim diharuskan untuk memutuskan sesuai dengan fakta yang muncul di persidangan,” ujar Sugiyanto. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait