Pakar: Untuk Memperkuat Kelembagaan Perlu Mentransformasi KY menjadi Mahkamah Yudisial
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun dalam acara Konsolidasi Jejaring Komisi Yudisial di Hotel Bumi Katulampa Bogor, Jumat (23/11).

Bogor (Komisi Yudisial) - Kekuasaan kehakiman yang independen merupakan elemen penting dalam sistem ketatanegaraan suatu negara. Indonesia sebagai negara yang berlandasakan demokrasi konstitusional memiliki pengalaman yang kurang baik dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman.
 
Hal tersebut diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun dalam acara Konsolidasi Jejaring Komisi Yudisial di Hotel Bumi Katulampa Bogor, Jumat (23/11). 
 
Refly menilai, saat ini KY sudah lebih baik. Dimana dengan kewenangan yang ada KY masih bisa mengusulkan calon hakim agung ke DPR yang jauh lebih baik sejak judicial review, dari usulan 3:1 menjadi 1:1.
 
“Sudah jauh lebih baik, hasil judicial review dari usulan kepada DPR dari 3:1 menjadi 1:1, perkara ditolak itu persoalan lain,” ujar Refly.
 
Terkait revisi Undang-Undang KY, Refly megusulkan untuk memperkuat kelembagaan KY diperlukan perubahan fundamental terhadap sistem kelembagaan KY yaitu mentransformasikan kelembagaan “Komisi Yudisial” menjadi “Mahkamah Yudisial”, sehingga kewenangan KY akan lebih terarah dengan mengadili perkara kode etik penegak hukum, mulai dari jaksa, hakim, polisi, dan anggota KPK.
 
“Mempertahankan Mahkamah Yudisial menjadikan sebagai pengadilan etika yang menyidangkan pelanggaran etika oleh aparat penegak hukum dengan sanksi maksimal pemberhentian,” tegas Refly.
 
Konsekuensi Mahkamah Yudisial adala tidak boleh aktif. Nantinya hanya menunggu gugatan, memeriksa dan mengadili.
 
“Hasil pengawasan lembaga pengawas masuk ke Mahkamah Yudisial, ini akan jauh lebih baik dan efektif,” jelas Refly.
 
Refly menambahkan, Mahkamah Yudisial fokus penegakan etika yang bisa mendahului proses criminal justice system.
 
“Kadang secara etika terdapat pelanggaran secara hukum belum tentu melanggar,” tambah Refly.
 
Penegakan etika bisa lebih dahulu, sehingga dapat menyelamatkan pelanggaran hukum. Pidana dan etika bisa sebangun, tetapi dalam lain hal bisa saja tidak sama. 
 
“Kalau melanggar hukum sudah pasti melanggar etika, tetapi melanggar etika belum tentu pelanggaran pidananya,” pungkas Refly.
 
Sementara itu, Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR) Firmansyah Arifin menyampaikan suara publik menginginkan KY agar bisa memainkan perannya untuk memperkuat suara publik dan harapan publik terhadap institusi-institusi peradilan.
 
“Pertegas saja KY sebagai lembaga pengawas ekternal hakim,” ujar Firmansyah.
 
Menurut Firmansyah, KY sering mengeluhkan banyak rekomendasi yang tidak ditindaklanjuti oleh MA. Problem itu tidak akan selesai kalau hanya dibicarakan KY sendirian.
 
“Kita fokus disitu saja, agar jejaring KY, media bisa mengawal itu, agar KY bisa mendapat dukungan dari publik,” ucap Firmansyah.
 
Firmansyah mengatakan, melalui rencana amandemen UUD 1945, KY harus mengambil momentum itu untuk memperkuat KY. 
 
“KY bisa menentertaint kewenangannya dengan terus memperkuat posisinya sebagai pengawas ekternal,” ujar Firmansyah. (KY/Jaya)

Berita Terkait