Hakim Wajib Profesional dalam Memutus Perkara
Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menjadi salah satu narasumber dalam diskusi publik virtual dengan tema “Urgensi Pelembagaan Peradilan Etika dan Transparansi Persidangan Peradilan Etika”

Jakarta (Komisi Yudisial) – Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menjadi salah satu narasumber dalam diskusi publik virtual dengan tema “Urgensi Pelembagaan Peradilan Etika dan Transparansi Persidangan Peradilan Etika”. Hadir pula Anggota DPD Jimly Asshiddiqie dan Ketua DKPP Muhammad sebagai narasumber lainnya. Diskusi ini merupakan kerja sama antara Jimly School of Law and Government dan Kondrad-Adenauer-Stiftung, yang dilaksanakan pada Kamis (13/08). Pelaksaaan diskusi dilakukan melalui aplikasi Zoom, yang dihadiri oleh ratusan peserta baik dari kalangan aparat penegak hukum, akademisi, dan masyarakat umum.
 
Dalam pembukaan pemaparannya, Jaja memberikan penjelasan tentang sejarah KY yang menempatkan kedudukannya di dalam UUD 45. Walaupun ditempatkan dalam pasal yang terkait kekuasaan kehakiman, KY tidak memiliki fungsi penegakan hukum. KY memiliki peran sebagai lembaga pengawas kekuasaan kehakiman.
 
Terkait materi diskusi, Jaja menyinggung prinsip profesionalisme seharusnya dimiliki setiap profesi, walaupun banyak problem yang menghambat prinsip ini bisa diterapkan. Terutama bagi para aparat penegak hukum, dan khususnya hakim yang menjadi objek pengawasan KY. Hambatan tersebut bisa lahir dari tekanan eksekutif dan legislatif, media, peradilan itu sendiri, masyarakat, korporasi, dan lain-lain. Bahkan, pentingnya prinsip profesionalisme ini diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
 
“Putusan hakim harus sejalan dengan prinsip profesionalisme. Lemahnya prinsip profesionalisme bagi hakim akan menimbulkan krisis moral, dan berpengaruh dalam memutus perkara. Ini bisa dilihat dari banyaknya laporan masyarakat ke KY terkait putusan hakim,” beber Jaja.
 
Untuk mengantisipasi hal tersebut terjadi, KY memiliki program afirmatif agar krisis moral tidak sampai terjadi. Jika preventif tidak bisa dilakukan, baru dilaksanakan penegakan etik untuk hakim, dan contempt of court bagi mereka yang melecehkan peradilan.
 
“Masyarakat mempersoalkan putusan hakim yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Padahal hakim dalam memutuskan perkara harus dilandasi kebebasan hakim, dan kita harus lindungi itu. Namun walaupun bebas, hakim harus bisa mempertanggungjawabkan putusannya. Putusan yang memiliki kebebasan itu adalah Ketika hakim dalam memberikan pertimbangan putusannya tidak boleh diintervensi. Hal ini untuk menciptakan lingkungan yang jauh dari krisis moral,” ujar Jaja.
 
KY mendukung penuh didirikannya peradilan etika di Indonesia, yang saat ini hanya terbatas terhadap beberapa profesi tertentu, seperti hakim dan Anggota KPU. Sedangkan walaupun ada peradilan etika lain, namun implementasi hukumnya tidak dapat dilaksanakan karena payung hukumnya kurang jelas.
 
“Saya mengharapkan MPR dapat menurunkan peraturan terkait Tap MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dengan antusiasme Anggota DPR seperti yang disinggung oleh Pak Jimly, mudah-mudahan ada implementasi di tahun ini,” harap Jaja. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait