Ketua KY Harap Pengadilan Tetap Layani Masyarakat di Masa Pandemi
Konrad Adenauer Stiftung Indonesia & Timor-Leste, Jimly School Law and Government, dan Komisi Yudisial (KY) bekerja sama menyelenggarakan Workshop “Implementasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)”.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Konrad Adenauer Stiftung Indonesia & Timor-Leste, Jimly School Law and Government, dan Komisi Yudisial (KY) bekerja sama menyelenggarakan Workshop “Implementasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)”. Workshop yang dilaksanakan 23-25 September ini diikuti oleh puluhan hakim dari berbagai peradilan, dan diisi oleh narasumber yang memiliki kapasitas dari berbagai latar belakang profesi terkait. Workshop dilaksanakan melalui media daring zoom, karena alasan pandemi covid-19. Ketua KY Jaja Ahmad Jayus membuka workshop secara resmi pada Rabu (23/09).
 
Dalam sambutannya, Jaja menceritakan pengalamannya mengunjungi beberapa daerah di Indonesia karena tugas selama pandemi covid-19. Jaja selalu mengingatkan agar para hakim yang melakukan sidang virtual tidak melakukan pelanggaran yang cenderung sepele. Namun, hal itu melanggar KEPPH dan hukum acara persidangan. Hal tersebut bisa terjadi karena unsur psikologi, misalnya di mana ketiadaan pengunjung membuat hakim lupa menyatakan sidang terbuka untuk umum.
 
“Saya berusaha memompa semangat para hakim dan staf pengadilan agar tetap semangat menegakkan hukum untuk para pencari keadilan, dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan walaupun dalam kondisi pandemi,” ujar Jaja.
 
Dalam kunjungan tersebut Jaja menyempatkan dialog dengan para hakim tentang penegakan KEPPH. Bahkan dalam kesempatan tersebut Jaja bertemu beberapa hakim yang diberikan sanksi oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA). Jaja menekankan bahwa hakim harus mengerti betul batasan dari KEPPH, misalnya kejadian bertemu dengan pihak yang berperkara. Ada yang beralasan bahwa pihak yang berperkara tersebut merupakan kawan atau kenalan dari hakim, sehingga tidak bermasalah untuk bertemu di luar sidang.
 
“Permasalahannya, bertemu dengan pihak yang berperkara apapun alasannya dapat membuat hakim tersebut disoroti integritasnya. Karena itu jika seandainya hakim bertemu keadaan dimana independensinya terganggu atau dipertanyakan, dia punya hak untuk mengundurkan diri dengan alasan konflik kepentingan. Sehingga menyebabkan tidak bisa bersidang dengan jujur dan fair. Jadi gesekan-gesekan yang kemungkinan bisa membuat hakim tidak bisa melakukan persidangan dengan baik harus disikapi dengan bijak,” jelas Jaja.
 
Di MA sendiri pengertian pelanggaran KEPPH sudah lebih maju, sudah masuk ranah profesionalisme. Jaja meyakini hakim sudah memahami dan mengimplementasikan KEPPH, walaupun godaan terkait KEPPH selalu saja ada.
 
“Jika etik tegak, penegakan hukum bisa maksimal. Jika keadilan bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat,  maka hal tersebut merupakan pencapaian tertinggi bagi MA dan peradilan yang di bawahnya. Jika penegakan hukum lebih akuntabel, maka cita-cita MA untuk terciptanya peradilan yang agung bisa lebih cepat tercapai,” harap Jaja. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait