Perbedaan Penafsiran Perilaku Murni dan Teknis Yudisial Jadi Problematika Pengawasan Integritas dan Etik Hakim
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari saat menjadi narasumber dalam webinar dengan tema "Problematika Pengawasan Integritas dan Penegakan Kode Etik Hakim di Indonesia" di Fakultas Syariah IAIN Salatiga, Jumat, (23/10).

Salatiga (Komisi Yudisial) - Korupsi bisa terjadi karena adanya pelanggaran perilaku dan administrasi. Kebanyakan korupsi terjadi karena adanya sistem administrasi dan lingkungan yang buruk. Hanya Mahkamah Agung (MA) yang dapat mengubah ekosistem lingkungan yang baik sebagai langkah pencegahan terjadinya korupsi pada lingkungan peradilan di Indonesia.
 
Hal itu disampaikan Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari  saat menjadi narasumber dalam webinar dengan tema "Problematika Pengawasan Integritas dan Penegakan Kode Etik Hakim di Indonesia" di Fakultas Syariah IAIN Salatiga, Jumat, (23/10).
 
Lebih lanjut Aidul menjelaskan soal Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menurutnya, UU tersebut dilatarbelakangi oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006. Perubahan pokok UU tersebut pada dasarnya untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, peradilan bersih dan berwibawa. Hal ini dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan agama secara konstitusional merupakan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA).
 
UU ini juga meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan agama, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial yaitu urusan organisasi,  administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan MA.
 
"Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh KY," ungkap Aidul.
 
Dikatakan Aidul, ruang lingkup pengawasan perilaku hakim meliputi hakim agung dan hakim ad hoc baik yang berada di MA maupun berada di badan peradilan di bawah MA. Ruang lingkup pengawasan perilaku hakim merupakan upaya pencegahan dan penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH).
 
"MA dan KY tidak berwenang menilai benar atau salahnya pertimbangan yuridis serta substansi putusan hakim," tegas Aidul.
 
Ditambahkan Aidul, terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi masalah dalam pengawasan perilaku hakim yaitu: kelembagaan, prosedur, standar norma dan personal. 
 
Faktor lembaga terjadi karena terdapat dua lembaga pengawas perilaku hakim yaitu KY dan Badan Pengawas MA. Selain itu juga karena KY tidak memliki perwakilan di daerah, KY hanya penghubung dan mengandalkan jejaring. 
 
Faktor prosedur dapat terjadi karena KY hanya menghasilkan rekomendasi kepada MA dan tidak memiliki kewenangan eksekutorial, pemeriksaan KY dan MA yang dianggap tidak setara, prosedur pemeriksaan di KY yang terlalu lama.
 
"Faktor standar norma dapat terjadi karena perbedaan penafsiran atas perilaku murni dari teknis yudisial. Faktor personal yang terjadi karena kompetensi personal pimpinan/anggota KY dan pegawai KY", tutur Aidul.
 
Pada kesempatan terpisah, Wakil Rektor IAIN Salatiga dalam sambutan pembukaannya mengatakan bahwa hal menarik dalam tema kuliah umum kali ini adalah tentang integritas dan penegakan kode etik.
 
Dikatakan Agus, seluruh civitas akademika IAIN Salatiga telah sepakat untuk membangun zona integritas di lingkungan kampus dan setiap civitas akademika harus menjaga nilai-nilai integritasnya.
 
"Alhamdulillah ditahun 2020 ini, IAIN Salatiga bersama IAIN Kudus berhasil masuk nominasi WBK dari seluruh IAIN yang ada di Indonesia," tutup Agus. (KY/Eka Putra/Festy)

Berita Terkait