Konstitusi Amanatkan  Independensi dan Akuntabilitas Peradilan
Anggota Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta menjadi salah satu narasumber dalam pelaksanaan PKL secara daring oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Anggota Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta menjadi salah satu narasumber dalam pelaksanaan PKL secara daring oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang. Kegiatan mengambil tema “Optimalisasi Fungsi Lembaga KPK, MK, dan Komisi Yudisial dalam Penegakan Hukum di Indonesia (Efektivitas Pengawasan Komisi Yudisial Terhadap Kinerja Hakim)”. PKL daring melalui aplikasi Zoom dan Youtube dilaksanakan pada Selasa (12/01), dan dihadiri secara virtual ratusan civitas Universitas Muhammadiyah Magelang.

Sukma dalam paparannya menekankan pentingnya independensi hakim berimbang dengan akuntabilitas. Sukma mengutip pernyataan almarhum Mantan Hakim Agung Paulus E Lotulung dalam Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tahun 2003 di Denpasar, yang berjudul “Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum”.

Almarhum Paulus menyatakan tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak-terbatas, atau tanpa batas. Kekuasaan kehakiman, yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakikatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu. Harus disadari bahwa kebebasan dan independensi  tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Keduanya, independensi dan akuntabilitas, pada dasarnya merupakan kedua sisi koin mata uang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab.

“Independensi peradilan di seluruh dunia diseimbangkan dengan akuntabilitas peradilan. Independensi peradilan di Indonesia diatur dalam Pasal 24 Amandemen UUD 45. Akuntabilitas lahir dalam Pasal 24B, tentang KY. UUD 45 memperjelas kemandirian hakim berimbang dengan akuntabilitas,” ujar Sukma.

Untuk menjaga akuntabilitas hakim, Pasal 24B UUD 45 memberikan wewenang kepada KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Sukma kembali mengutip tulisan ilmiah dari Carmen Beauchamp Ciparick and Bradley T. King dalam Jurnal St John Law Review. Masalah negara demokrasi baru adalah judicial independence,  dan masalah negara demokrasi berkembang adalah judicial accountability. Indonesia saat ini masuk dalam kategori negara demokrasi berkembang. Oleh karena itu menurut Sukma, saat ini fokus reformasi di dunia peradilan seharusnya tidak lagi menitikberatkan pada independensi kekuasaan kehakiman, tetapi justru mengembalikan kepercayaan publik.

“Bahwa prinsip independensi tidak pernah berdiri sendiri. Di mana ada indepedensi, maka di situ pula terdapat akuntabilitas yang sama pentingnya untuk diperjuangkan,” tegas Sukma. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait