Kewenangan Besar Hakim, Independensinya Harus Diawasi Sekaligus Dilindungi
Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi saat menjadi narasumber dalam Webinar Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Senin, (22/11).

Yogyakarta (Komisi Yudisial) - Hakim mendapat sebutan ‘Wakil Tuhan’ atau ’Yang Mulia' karena hakim memegang posisi yang sentral dalam dunia peradilan. Di tangan hakim, nasib baik atau buruk mereka yang didakwa atau digugat akan ditentukan. Hakim merupakan profesi yang putusannya dapat menghilangkan kebebasan orang, mengalihkan hak kepemilikan orang, hingga mencabut hak hidup seseorang.

 

Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi mengatakan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam Webinar Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Senin, (22/11). Hadir sebagai pembicara lainnya adalah Ketua PN Dumai M. Buchary Tampubolon, JPU pada Kejari Surakarta Dyah Ayu Sekar Pertiwi, dan dosen FH UII M. Arif Setiawan.

 

Dikatakan Kadafi, kedudukan hakim dalam Islam disebut qadhi, yaitu seseorang yang bertanggung jawab menjelaskan hukum Allah SWT kepada manusia (qadha’). Menurut ulama, hukum qadha’ adalah fardhu kifayah. Harus ada yang memberikan penjelasan tentang syariat Islam kepada manusia. 

 

"Beban ini diberikan kepada penguasa atau khalifah yang kemudian mewakilkan kewajiban ini kepada hakim," urai Kadafi.

 

Dalam Islam, lanjut Kadafi, hakim adalah wakil resmi khalifah di suatu wilayah dalam penerapan hukum. Berdasarkan Hadist Rasulullah SAW bahwa Tidak halal bagi tiga orang yang tinggal di suatu wilayah dari belahan bumi, melainkan mereka harus mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin mereka 

(HR Ahmad).Ajaran agama lain juga menempatkan hakim dalam posisi istimewa.

 

Di sisi lain, hakim adalah manusia biasa. Ia bukan entitas yang tunggal, steril dan mekanis. Bukan juga manusia yang bebas nilai dan terhindar dari hal-hal yang bersifat manusiawi, seperti: asal-usul sosial, pendidikan, gender, psikologi, agama, status, kelas, tradisi, atau ideologi. 

 

"Hakim adalah manusia mendorong kita untuk melihatnya dalam kualitas kemanusiannya secara penuh. Hakim harus dilihat dalam ketelanjangannya yang tuntas,” tutur Kadafi mengutip Satjipto Rahardjo.

 

Karena hakim punya posisi sentral dengan kewenangan besar, independensinya harus dijamin. Mengutip pernyataan Hakim Agung Sunarto, Kadafi mengatakan bahwa konsep independensi dapat digambarkan sebagai keadaan di mana hakim dapat membuat putusan yang bebas dari pengaruh eksternal, baik dari cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, pihak swasta, ataupun dari dalam cabang kekuasaan yudikatif sendiri. 

 

"Namun patut dipahami, independensi hakim bukanlah atribut yang semata diberikan pada hakim dengan jabatannya, melainkan manifestasi jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan peradilan yang bersih dan fair,” ungkap Kadafi.

 

Ditambahkan Kadafi, hakim selain dilakukan pengawasan juga harus mendapat perlindungan. Independensi hakim harus pula dijamin dengan perlindungan. Secara esensial yang dilindungi bukanlah keagungan pengadilan, bukan pengadilan sebagai sebuah badan, bukan hakim sebagai individu. Keadilan dan kebebasan hakim untuk melahirkannya lah yang dilindungi.

 

Peran KY dalam perlindungan/advokasi hakim terdapat dalam Pasal 20 UU No. 18/2011 tentang Komisi Yudisial dan Peraturan KY No. 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim. Adapun tugas-tugas advokasi yang telah dilakukan oleh KY adalah advokasi represif, koordinasi pengamanan persidangan dan advokasi preventif. 

 

"Perlindungan terhadap hakim pun harus dijalankan secara beriringan dengan prinsip transparansi, judicial control, dan kebebasan mengeluarkan pendapat,” kata Kadafi. (KY/Eka Putra/Festy)


Berita Terkait