CHA Subiharta: Praktik Peradilan HAM di Indonesia Belum Optimal
Calon hakim agung (CHA) keempat di hari kedua yang mendapat kesempatan untuk diwawancara adalah Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Bandung Subiharta.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon hakim agung (CHA) keempat di hari kedua yang mendapat kesempatan untuk diwawancara adalah Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Bandung Subiharta. Calon ditanya pendapatnya tentang pelaksanaan peradilan HAM di Indonesia.

 

Menurutnya, praktik peradilan HAM di Indonesia belum berjalan secara optimal. Hal itu karena dalam memproses pelanggaran HAM diharuskan melalui mekanisme di mana Komnas HAM sebagai lembaga atau institusi yang berwenang melakukan penyelidikan awal pelanggaran HAM. Selain itu, tidak mudah memformulasikan pelanggaran HAM di Indonesia.

 

Ada tiga hal dalam pelanggaran HAM berat yang bisa diproses melalui pengadilan HAM, yakni genosida, kejahatan kemanusiaan, dan pidana yang berkaitan dengan peperangan.

 

Misalnya pelanggaran HAM di Indonesia seperti kasus Semanggi. Sampai sekarang ternyata belum dilakukan suatu proses penegakan hukum setelah melalui perubahan pemerintahan dari dekade sebelumnya atau dari presiden sebelumnya ke presiden yang sekarang," kata dia.

 

"Misalnya pelanggaran HAM (berat) terhadap kasus Semanggi. Sampai sekarang ternyata belum dilakukan suatu proses penegakan hukum setelah melalui perubahan pemerintahan dari dekade sebelumnya atau dari presiden sebelumnya ke presiden yang sekarang," jelas Subiharta.

 

Ia menekankan bahwa dalam praktik peradilan HAM, maka membutuhkan political will atau kehendak politik dari penguasa.

 

Subiharta kembali ditanya pandangannya terkait kemungkinan mengaitkan penegakan hukum pelanggaran HAM berat dengan International Criminal Court (ICC). Namun, jawaban Subiharta tampak tidak memuaskan panelis, sehingga Anggota KY Amzulian menjelaskan tentang yang dimaksud ICC.

 

Adanya ICC itu karena ada dua faktor. Satu karena adanya unwilling, kemudian ada yang unable. Unsur unwilling karena tidak ada political will untuk mengadili. Sementara unsur kedua yakni unable atau tidak adanya kesanggupan untuk membawa keadilan tersebut.

 

"Kedua faktor itu memunculkan tercipta yang namanya International Criminal Court. Solusi apa yang bisa dilakukan yaitu mengencourage pemerintah kita untuk meratifikasi konvensi tentang ICC itu," pungkas Amzulian. (KY/Festy)


Berita Terkait