CHA Subiharta: Tidak Semua Perkara Harus Bermuara ke Pengadilan
Calon Hakim Agung (CHA) terakhir di hari kedua yang diwawancara dari Kamar Pidana adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bandung Subiharta.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon Hakim Agung (CHA) terakhir di hari kedua yang diwawancara dari Kamar Pidana adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bandung Subiharta. CHA Subiharta ditanyakan mengenai makalah yang ditulis dalam proses seleksi kualitas, dengan tema pembelaan terpaksa sebagai alasan penghapusan pidana, studi kasus AL. 

 

Dalam penulisan Subiharta menyebutkan bahwa perbuatan terdakwa bisa dikategorikan perbuatan yang dilindungi oleh Pasal 49 KUHP. Sehingga tidak perlu kasus ini sampai diproses di persidangan pengadilan. Tapi CHA lain ada yang berbeda pendapat, AL bisa dikenakan Pasal 338 KUHP, bahkan ada yang berpendapat bisa dikenakan Pasal 351 ayat 3 KUHP.  

 

Subiharta menyampaikan bahwa dari kajian terhadap tulisan yang dikaji dan ditulis. Memang terhadap kasus yang ada, ada satu perbuatan yang merupakan penyerangan terhadap fisik dan psikis dari korban. Selanjutnya setelah Subiharta membaca paparan dan catatan dari soal yang ada, ada rekaman CCTV perbuatan bukan sekadar memegang dada dan kemaluan dari korban pelaku. Ada perbuatan sodomi, hubungan kelamin sesama jenis. Subiharta berpendapat apa yang dilakukan oleh korban sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kehidupan yang memang tidak diperbolehkan agama, UU, dan institusi. Bahkan setelah korban pelaku berusaha melepas, masih tetap dipegang oleh korban.  

 

“Oleh karena itu terlepas dari pendapat yang berbeda, saya melihat bahwa korban (pelaku) masih dalam wilayah untuk mempertahankan harga diri, fisik dan psikis, kehidupan yang harusnya dilindungi oleh korban,” tegas Subiharta. 

 

Karenanya Subiharta berpendapat bahwa Pasal 49 KUHP, yang mengatur tentang pembelaan terpaksa, di mana orang yang melakukan pembelaan terpaksa dengan standar yang cukup sesuai dengan serangan, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya Subiharta menjelaskan mengapa berpendapat tidak perlu diproses. Di dalam sistem peradilan pidana, kepolisian selaku penyidik memilki kewenangan untuk menghentikan suatu kasus, melakukan diskresi, bahkan dalam rangka restorative justice tertentu ada diversi. Demikian juga kejaksaan mempunyai kewenangan untuk men-deponering. Pengadilan mempunyai kewenangan untuk mengadili, membebaskan, atau melepaskan.  

 

“Oleh karena itu dalam forum ini saya menyampaikan, bahwa tidak semua perkara itu harus bermuara ke pengadilan. Asalkan sudah punya pola, standar, kejelasan, maka di situ kewenangan-kewenangan di tingkat penyidikan, penuntutan, dan juga peradilan itu diberikan sepenuhnya dalam rangka tercapainya tujuan sistem peradilan pidana. Yaitu penegakan hukum yang bermartabat, berhasil, cepat, dan seterusnya,” ujar Subiharta. 

 

Sesungguhnya bahwa di dalam proses pemeriksaan perkara pidana sesuai ketentuan KUHAP, baik terdakwa maupun korban harus dilindungi, diberikan posisi yang sama. Saksi korban diberikan perlindungan, terlebih sudah ada LPSK. Demikian juga terdakwa, juga hak-haknya harus diberikan. Tapi dalam kasus ini karena pelaku sudah meninggal, paling tidak diinformasikan kepada ahli warisnya perkambangan kasus. 

 

“Sehingga posisi kalau memang harus diproses, bagaimanapun juga harus diberitahukan hak-hak keluarga korban. Jadi ada keseimbangan hak bagi saksi korban dan terdakwa,” kata Subiharta.

 

Terkait adanya kasus yang sama baru-baru ini terkait korban pembegalan membunuh pembegalnya, dan kepolisian membebaskan korban pelaku, Subiharta setuju dengan tindakan kepolisian tersebut. 

 

“Sependapat. Jadi tidak harus polisi dalam hal-hal tertentu memberikan berkas kepada kejaksaan, kejaksaan ke pengadilan. Saya kira ini sebagai suatu proses yang memungkinkan untuk dijalankan,” pungkas Subiharta. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait