CHA Hery Supriyono: UU ITE Rentan Membelenggu Kemerdekaan Berpendapat
Calon Hakim Agung (CHA) keempat yang diwawancara Kamis (5/8) adalah Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Gorontalo Hery Supriyono.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim Agung (CHA) keempat yang diwawancara Kamis (5/8) adalah Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Gorontalo Hery Supriyono. Calon sempat ditanyakan jenis  media sosial apa yang dimilikinya. Hery pun menjawab ia memiliki akun Facebook dan Whats App.

 

Anggota Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai menanyakan soal beredarnya informasi di media sosial dan media massa terkait sumbangan covid-19 untuk Sumatera Selatan sejumlah Rp 2 triliun. Namun, dalam perkembangannya, sumbangan yang disampaikan di hadapan beberapa pejabat publik Sumatera Selatan tersebut ternyata tidak ada.

 

"Pertanyaan saya, apakah Ibu X yang menyerahkan papan atau objek bertuliskan Rp 2 triliun itu di hadapan pejabat publik dan disaksikan oleh banyak orang dan ternyata itu tidak ada dananya itu dapat dipidana? Tolong berikan penjelasan," kata Amzulian saat menjadi panelis wawancara calon hakim agung, Kamis (5/8) di Auditorium KY, Jakarta. 

 

Hery berpendapat, apabila dana tersebut benar tidak ada, maka tindakan tersebut bisa disebut menyebarkan berita bohong. 

"Kalau dikaitkan dengan UU ITE, maka bisa dipidanakan," jelas Hery.

 

Panelis bertanya lebih jauh soal UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berbunyi: setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal tersebut menjadi momok dan perdebatan di tengah masyarakat karena dianggap membelenggu kemerdekaan berpendapat masyarakat. 

 

Menanggapi hal itu, Hery sependapat bahwa pasal itu rentan membelenggu kemerdekaan masyarakat untuk berpendapat. 

 

"Tulisan-tulisan yang disebarkan di medsos bisa berakibat berurusan dengan pihak yang berwajib," tambah Hery.

 

Lebih lanjut ia juga ditanyakan pendapatnya apakah pasal tersebut perlu dilakukan judicial review maupun mekanisme lain.

 

"Karena memang undang-undang ini sangat sensitif, sehingga apabila ada orang lengah dalam menyampaikan pendapat maka bisa berurusan dengan hukum. Karena dampaknya begitu luas dan masyarakat sudah menyatakan semacam keberatan eksistensi Undang-Undang tersebut, maka saya setuju untuk di JR," pungkas Hery. (KY/Festy)


Berita Terkait