Hukum Tidak Selalu Tegak, Tapi Jangan Lelah Mencari Keadilan
Komisi Yudisial (KY) dan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) pada Kamis (8/9), di Purwokerto, Jawa Tengah.

Purwokerto (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) dan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) pada Kamis (8/9), di Purwokerto, Jawa Tengah. Penandatangan dilakukan di Gedung Fakultas Hukum Unsoed antara Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata dan Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Kuat Puji Prayitno. Hadir dalam kesempatan tersebut Pimpinan Pengadilan Negeri dan Agama Purwokerto juga daerah sekitarnya, seluruh Wakil Rektor Unsoed, pimpinan dan dosen Fakultas Hukum Unsoed, serta ratusan mahasiswa Unsoed dan mahasiswa program pertukaran di Unsoed.

 

Dalam sambutannya Mukti menjelaskan sejarah kelahiran KY yang merupakan kehendak reformasi. Pada tahun 1998, masyarakat menghendaki reformasi sistem pemerintahan dengan pemisahan kekuasaan. Kekuasaan kehakiman dipisahkan. Namun muncul _concern_mengenai independensi lembaga peradilan. Kekuasaan kehakiman secara doktrinal ini mutlak, karena lembaga peradilan harus independen tanpa intervensi.

 

“Tapi ada culture lama, sehingga masih ada intervensi. Muncul gagasan lembaga pengawas eksternal. Tidak ujug-ujug datang.  Dulu sudah ada idenya, tapi yang dinyatakan secara tegas di konstitusi yaitu dalam Pasal 24B, yaitu KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim," urai Mukti.

 

Isi pasal tersebut kemudian diturunkan dalam undang-undang dalam tiga bidang kerja KY, yakni pengawasan, peningkatan kapasitas hakim, dan advokasi. Hakim yang diawasi KY dari segi perilaku. Dalam bidang peningkatan kapasitas, KY mengundang hakim untuk upgrading ilmu. Supaya putusannya lebih berkualitas dari logika hukum, dan pengetahuan hukumnya. Advokasi, di mana hakim bisa mendapatkan perlindungan dari KY. Misalnya pernah di PN Bengkalis hakim diancam dan diintidiminasi sehingga KY memberikan perlindungan.

 

Mukti juga menyinggung soal KY tidak bisa masuk terkait putusan hakim. Jangankan KY, MA saja tidak bisa ikut campur. Putusan hanya bisa diubah atau dibatalkan hanya oleh putusan yang lebih tinggi. Ini jadi problem bagi KY dan MA setelah berdiskusi, seberapa jauh independensi kekuasaan hakim dalam memutus? Apakah absolut, mutlak, terbatas, dan seterusnya. Karena kekuasaan hakim itu mutlak, tapi kita tidak tahu ada ruang gelap dalam suatu putusan, sehingga hasil putusannya menjadi demikian.

 

“Sesungguhnya, saat berbicara dengan hakim, mereka butuh masukan. Apa yang salah dari putusan ini, sampai masyarakat ribut dan viral. Kajian akademik dan ilmiah, jika dipublikasikan bisa menginspirasi dan menambah wawasan bagi hakim,” lanjut Mukti.

 

Tugas KY menjaga martabat hakim dan mengembalikan trust public kepada lembaga peradilan. Mukti berharap MoU ini bisa menjadi topik, pemicu, yang bisa dikerjasamakan dengan lembaga peradilan dan kampus. Tujuannya sama untuk menegakkan hukum.

 

“Saya berharap tidak sekadar MoU ini menjadi dokumen dan masuk rak penyimpanan, tapi bisa diimplementasikan. Saya yakin semangat Jenderal Soedirman bisa ditularkan untuk menjadi semangat Unsoed. Hukum tidak selalu tegak, tapi jangan lelah mencari keadilan,” pungkas Mukti. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait