KY Beri Perhatian pada Perkara PBH dan ABH
Komisi Yudisial (KY) beraudiensi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk membahas penanganan kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) dan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), Kamis (31/7/2025) di Kantor Kemen PPPA, Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) beraudiensi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk membahas penanganan kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) dan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), Kamis (31/7/2025) di Kantor Kemen PPPA, Jakarta.

Kepala Biro Pengawasan Perilaku Hakim Mulyadi menyatakan, KY memberikan komitmen penuh pada penanganan perkara PBH dan ABH, terutama terkait tugas KY dalam melakukan pemantauan persidangan. Mulyadi juga menjelaskan bahwa KY telah melakukan koordinasi dengan lembaga pemerintah lainnya seperti: Komnas Perempuan, KPAI, dan elemen masyarakat lainnya. 

“Kami berkunjung ke sini ingin meningkatkan kerja sama. KY saat ini sedang memberi perhatian pada kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) dan anak berhadapan dengan hukum (ABH) di pengadilan. Sejak dua tahun terakhir ini, dua hal itu menjadi fokus pemantauan persidangan oleh KY," ujar Mulyadi. 

Pemantauan persidangan yang  dilaksanakan KY dapat dilaksanakan secara terbuka dan tertutup. Namun, sidang perkara kesusilaan harus dilakukan tertutup untuk melindungi martabat korban dan menjaga etika publik. Hal ini merujuk 

Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang mengatur bahwa persidangan pengadilan pada dasarnya bersifat terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau jika terdakwanya adalah anak-anak. Meski dalam persidangan tertutup, KY juga berkomitmen untuk melakukan pemantauan persidangan. 

“Tahun ini, KY memperoleh dukungan  dari Australia Indonesia Partnership for Justice atau AIPJ terkait kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum yang bersifat tertutup. Siapapun tidak boleh masuk, bahkan KY pun tidak boleh masuk," jelas Mulyadi.

Namun, lanjut Mulyadi, karena KY diamanahi undang-undang untuk melakukan pemantauan persidangan, Pimpinan MA kemudian telah memberikan surat balasan bahwa tidak keberatan apabila KY melakukan pemantauan secara tertutup. Namun, sebelumnya sudah mendapatkan izin dari ketua majelis hakim. 

"Oleh karena itu, KY ingin bekerja sama dengan Kemen PPPA untuk mendorong agar ada pihak lain, selain KY, seperti pendamping-pendamping korban dan pihak lainnya agar bisa diberi ruang," harap Mulyadi.

Merespon hal itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Desy Andriani menyoroti pentingnya integritas para pendamping dalam isu perlindungan perempuan. 

"Hal ini mungkin menjadi tantangan tersendiri bagi para pendamping yang sudah tersertifikasi, karena persoalan integritas itu seperti dua sisi mata uang," ujar Desy.

Ia menegaskan perlunya indikator konkret dari nilai-nilai tersebut yang kerap kali tidak jelas. Oleh karena itu, menurutnya, perlu perhatian khusus terhadap para pendamping yang benar-benar telah terlatih dengan baik sebagai sasaran evaluasi dan tindak lanjut ke depan.

Desy juga menambahkan bahwa proses persidangan di lembaga peradilan harus mencerminkan penghormatan terhadap harkat dan martabat perempuan, pemenuhan hak anak, serta perlindungan hak-hak perempuan secara menyeluruh. (KY/Farhan/Festy)


Berita Terkait