KY Gelar Diskusi Integritas dan Akuntabilitas Peradilan di Indonesia dan Australia
Komisi Yudisial (KY) menggelar sharing session bertema “Integritas dan Akuntabilitas Peradilan di Indonesia dan Australia” di Jakarta, Senin (8/12/2025).

Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) menggelar sharing session bertema “Integritas dan Akuntabilitas Peradilan di Indonesia dan Australia” di Jakarta, Senin (8/12/2025). Anggota KY selaku Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Binziad Kadafi dalam keynote speech-nya menyampaikan, setiap tahun KY menerima sekitar 3.000 laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Namun, hanya 10 persen yang dapat ditindaklanjuti. Data tersebut menunjukkan bahwa tantangan integritas peradilan masih besar. 

Ia mengungkap, salah satunya tercermin dari kasus korupsi besar yang menyeret seorang makelar kasus, termasuk penyitaan uang dan aset senilai lebih dari Rp 1 triliun. “Kasus itu hingga kini belum sepenuhnya terungkap,” jelas Kadafi.

Kegiatan ini menghadirkan pembicara dari University of New South Wales Australia Professor Mellisa Crouch dan Penata Kehakiman pada Bidang Advokasi Hakim KY Ilham Sanjaya dan Narwanto untuk membahas mekanisme pengawasan peradilan di kedua negara serta peluang penerapan praktik baik bagi perbaikan sistem peradilan nasional.

Dalam paparannya, Ilham menjelaskan materi yang diambil dari buku “Mengenal Lembaga Serupa Komisi Yudisial di Australia dan Selandia Baru serta Perbandingannya dengan KY Republik Indonesia: Sebuah Studi Kelembagaan.” Ia menjelaskan bahwa di Australia dan Selandia Baru, KY pada dasarnya memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku judicial officers  atau pejabat yudisial. Istilah judicial officers merujuk pada individu yang bertugas menyidangkan perkara di kedua negara tersebut, dan dalam konteks Indonesia dapat disamakan dengan hakim.

Ilham juga memaparkan struktur dan kewenangan Judicial Commission of Victoria (JCV) yang dibentuk melalui Judicial Commission of Victoria Act 2016. JCV terdiri dari maksimal 10 anggota, yakni enam anggota unsur yudisial yang ex-officio para ketua badan peradilan dan empat unsur non-yudisial atau tokoh masyarakat. Lembaga ini mengawasi sekitar 600 judicial officers dan menerima laporan hanya melalui surat, email, atau telepon. 

"JCV dapat menolak laporan yang tidak relevan, mengada-ada, atau tidak diajukan dengan itikad baik yang dikenal dengan istilah vexatious complainants," jelas Ilham.

Di kegiatan yang sama, Narwanto menjelaskan struktur Judicial Commission of New South Wales (JCNSW). Hampir mirip dengan JCV, JCNSW terdiri dari enam anggota ex-officio dan empat anggota non-yudisial yang ditunjuk gubernur dewan. Ia membandingkan komisi tersebut dengan KY di Indonesia yang dibentuk pada era reformasi dengan komposisi keanggotaan yang didominasi unsur non-yudisial masyarakat.

Narwanto juga menyoroti sejumlah praktik baik yang dapat diadopsi oleh KY, antara lain penerimaan sistem penerimaan laporan tanpa tatap muka, kewajiban penyediaan rekaman persidangan oleh pengadilan, serta kemudahan KY dalam mengaksesnya.

"kemudian perhatian pada isu judicial bullying serta vexatious complainant, hingga berbagai penguatan peran KY, salah satunya adalah dalam penyusunan berbagai sumber bacaan dan pedoman etik serta pendidikan hakim," tambah Narwanto.

Akademisi dari University of New South Wales Melissa Crouch menekankan bahwa berbeda dengan Indonesia, Australia tidak memiliki KY tingkat nasional. Saat ini, KY berada pada setiap negara bagian. Ia menyoroti karakteristik JCV yang memiliki mayoritas komisioner dari unsur hakim, serta kewenangan lembaga tersebut untuk menolak pengaduan yang tidak berdasar.

"Tantangan isu global terkait penurunan nilai demokrasi dan meningkatnya populisme yang dapat memengaruhi kepercayaan publik terhadap peradilan. Indonesia memiliki fondasi kuat dalam menjaga independensi peradilan, termasuk melalui peran KY," jelas Melissa.

Ia menambahkan bahwa sejumlah mahasiswa doktoral asal Indonesia di UNSW kini meneliti sistem peradilan dan ketatanegaraan Indonesia, termasuk mekanisme KY. Penelitian menunjukkan adanya perkembangan positif dalam upaya memperkuat independensi peradilan. (KY/Haris/Festy)


Berita Terkait