Kunjungi KY, Prof. Simon Bronitt Jelaskan Judicial Accountability
Deputy Head of School TC Beirne School of Law, The University of Queensland, Australia Prof. Simon Bronitt memberikan kuliah umum bertema Judicial Accountability and The Rule of Law di sela kunjungannya ke Komisi Yudisial (KY), Selasa (7/2) di Gedung KY,

Jakarta (Komisi Yudisial) – Deputy Head of School TC Beirne School of Law, The University of Queensland, Australia Prof. Simon Bronitt memberikan kuliah umum bertema Judicial Accountability and The Rule of Law di sela kunjungannya ke Komisi Yudisial (KY), Selasa (7/2) di Gedung KY, Jakarta. Prof. Simon menjelaskan, lembaga kehakiman di Australia merupakan lembaga publik terpercaya oleh masyarakat.
 
"Di Australia, untuk mengukur akuntabilitas suatu lembaga publik, digunakan survei. Jika dilakukan survei, maka lembaga publik yang paling dipercaya masyarakat Australia di urutan pertama adalah lembaga kehakiman,” jelas Prof. Simon yang berkunjung ke KY bersama belasan mahasiswanya.
 
Lebih lanjut Prof Simon memaparkan, Australia menganut sistem hukum common law, di mana hakim memiliki indepedensi tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Mahkamah Agung (MA) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim di bawahnya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari sistem ketatanegaraan Australia yang menganut sistem negara federal.
 
“Berdasarkan hukum, hakim diberikan tugas untuk mencari keadilan, bukan sekadar ditunjuk untuk menyelesaikan perkara atau memastikan putusan yang menyenangkan kedua belah pihak. Hakim diberikan kebebasan untuk menginterprestasi hukum sesuai pemahaman mereka selama tidak keluar dari koridor keadilan,” lanjut Simon.
 
Dalam kesempatan tersebut Simon mengkritik sistem civil law yang digunakan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hakim dikekang oleh hukum, di mana dalam memberikan putusan, alasan hukum tidak menjadi prioritas. Ini hukum, ini hasilnya. Hakim dikekang untuk menginterprestasi hukum yang ada, sehingga pertimbangan hukum adakalanya kurang kuat.
 
“Di Australia, sudah biasa suatu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan itu bisa beratus lembar. Hal ini untuk memastikan bahwa putusan yang dikeluarkan memiliki alasan yang kuat dan demi keadilan. Namun di Belanda contohnya, bisa saja saja pertimbangan hakim cuma tiga halaman,” ujar Simon.
 
Untuk diketahui, KY telah menjalin kerjasama dengan University of Quennsland, Australia. Kuliah umum ini  dihadiri oleh Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari, Wakil Ketua KY Sukma Violetta, Anggota KY Farid Wajdi, dan staf KY. (KY/Noer/Festy)

 


Berita Terkait