Akuntabilitas Peradilan Dorong Hukum Berkeadilan
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi KY Farid Wajdi menjadi narasumber dalam seminar nasional Berjudul Peran KY dalam Mewujudkan Independensi dan Akuntabilitas Peradilan dalam Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan, Jumat (26/10).

Palembang (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) terus mendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim yang hingga saat ini masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Fokus RUU ini menyeimbangkan antara menjaga independensi kekuasaan kehakiman dengan akuntabilitas peradilan. 
 
Hal itu disampaikan Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi KY Farid Wajdi menjadi narasumber dalam seminar nasional Berjudul Peran KY dalam Mewujudkan Independensi dan Akuntabilitas Peradilan dalam Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan, Jumat (26/10) di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang.
 
Dalam RUU Jabatan Hakim, konsep independensi itu harus disertai dengan akuntabilitas peradilan. Fokus akuntabilitas ini  terkait dengan aspek seleksi, penilaian profesonalisme, rotasi mutasi dan pengawasan hakim.
 
"Kalau masih membicarakan isu independensi itu sudah ketinggalan, karena hal itu ada di negara demokrasi baru. Demokrasi yang sudah berkembang justru sudah berbicara tentang akuntabilitas," tegasnya.
 
Farid juga menyoroti kekuasaan kehakiman yang bertumpu pada Mahkamah Agung (MA). Dalam praktik pengelolaan peradilan modern, fakta peradilan tidak mungkin diberikan beban lebih selain hanya fokus dalam perkara dan kesatuan hukum untuk keadilan. Menurutnya, One Roof System atau dalam bahasa akademik disebut Judicial Self Government hanya bertahan di negara Republik Ceko dan dibahasakan sebagai resep kebijakan yang buruk.
 
"Dikatakan buruk karena karena berpotensi menimbulkan abuse of power lantaran kekuasaan yang terpusat, serta menimbulkan sistem yang rentan karena bergantung pada figur atau setidaknya menimbulkan kelompok figur yang tidak sehat," tambah mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara.
 
Farid kemudian menjelaskan perkembangan RUU Jabatan Hakim, termasuk syarat untuk menjadi hakim. Menurutnya, sarjana syariah memenuhi syarat dalam RUU Jabatan Hakim untuk menjadi hakim, dengan syarat usia minimal 30 tahun dan maksimal 35 tahun.
 
"Untuk menjadi hakim, maka sarjana hukum tidak berasal dari fresh graduate, tetapi yang sudah ada berpengalaman dari latar belakang hukum yang beragam, seperti akademisi, notaris, advokat, dan lainnya," jelas Farid.
 
Ia juga menekankan pentingnya integritas dalam profesi hakim, mengingat hakim adalah profesi mulia dan wakil Tuhan di dunia.
 
UIN, lanjutnya, menjadi bagian untuk melahirkan hakim-hakim yang berintegritas. 
 
Hadir pula sebagai narasumber akademisi UIN Raden Fatah Palembang  M. Sadi Is. Menurutnya, tujuan hukum di Indonesia saat ini adalah kepastian hukum. Karena itu banyak hakim yang dikritik bahwa belum bisa memberikan rasa keadilan.
 
"Dalam mewujudkan keadilan, maka hakim harus diawasi oleh KY. Sebagai lembaga negara, KY berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat dan perilaku hakim," pungkasnya. (KY/Festy/Jaya)

Berita Terkait