Judicial Assistants Berperan Membantu Tugas Hakim Agung
Komisi Yudisial menggelar International Webinar “Global Trends In The Status and Roles of Judicial Assistans and Future Developments In Indonesia”, Senin (7/6).

Jakarta (Komisi Yudisial) - Keberadaan judicial assistants (JA) dibutuhkan oleh para hakim agung di Mahkamah Agung (MA) Belanda. JA ini diisi oleh aparatur sipil negara di kamar Perdata, Pidana dan Pajak yang seluruhnya tergabung dalam Departemen Riset. 

"Sebelum menjabat menjadi JA, mereka harus memiliki pengalaman kerja minimal 2-3 tahun terlebih dahulu. Keberadaan JA dibutuhkan oleh hakim yang salah satu tugasnya, yaitu: melakukan penelitian, mengkonsep putusan atau pendapat, dan kadang mereka juga dapat terlibat dalam pembahasan suatu masalah hukum. Namun, konsep yang dibuat JA tidak mengikat di mana pertanggungjawaban akhir dari pekerjaan – pekerjaan tersebut tetap berada di penasihat hukum atau hakim," jelas mantan hakim agung Belanda Geert Corstens saat menjadi salah satu pembicara dalam International Webinar “Global Trends In The Status and Roles of Judicial Assistans and Future Developments In Indonesia”, Senin (7/6). 

Dalam kesempatan sama, penulis buku The Collapse of the Supreme Court Institution Sebastiaan Pompe yang pernah melakukan riset MA di Indonesia mengatakan, JA sudah di Indonesia sudah ada sejak zaman orde baru, dan para hakim agung kala itu membutuhkan sparring partner intelektual, dan keberadaan JA sangat membantu mereka dalam memperkuat lembaga MA.

"Keberadaan JA pada kala itu dikenal sebagai kelompok yang cemerlang. Keberadaan JA cenderung memperkuat lembaga dan hukum di masa orde baru. Seperti diketahui, beberapa dari mereka justru malah menjadi hakim agung, lompat dari posisi yang cukup junior ke lembaga tertinggi negara," jelas Pompe.

Pompe melanjutkan, belakangan ini di Indonesia, JA dijabat oleh hakim yustisial yang sifatnya diperbantukan. Selain itu, ada juga JA yang dikelompokkan untuk tugas administratif. Di sisi lain, ada JA yang dikelompokan untuk tugas operasional di mana keduanya bersifat pendukung tugas manajemen, tetapi hanya sedikit yang ditugaskan untuk terlibat dalam proses pengambilan putusan.

"Dari semua studi tentang hakim yustisial di negara lain, di Indonesia memang berbeda dengan yang lain dan menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya, apakah ini sistem yang paling efisien untuk mendukung Mahkamah Agung dan menjamin karir dari hakim yustisial itu sendiri? Karena yang perlu diingat latar belakang dari hakim yustisial adalah sebagai hakim yang membuat hukum analisis bukan sebagai manajer," pungkas Pompe. (Adnan/KY/Festy)


Berita Terkait