Perlu Adanya Kode Etik bagi Asisten Hakim
Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi saat menjadi pembicara pada international webinar “Global Trends in the Status and Roles of Judicial Assitants and Future Developments in Indonesia”, Senin (7/6).

Jakarta (Komisi Yudisial) - Gagasan asisten hakim muncul dari konteks meningkatnya beban kerja hakim dan pengadilan di berbagai negara. Selain itu juga ada tuntutan pada hakim dan pengadilan untuk bisa menyelesaikan beban kerja tersebut, yaitu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara produktif, sambil menjaga kualitas putusan di sisi yang lain.  

Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi mengatakan telah banyak upaya reformasi peradilan, termasuk di Indonesia. Umumnya, lanjut Kadafi, langkah transformasi tersebut merupakan jawaban atas tuntutan masyarakat bagi peradilan untuk berbenah. Reformasi peradilan ini banyak dipengaruhi oleh konsep New Public Management (NPM) yaitu upaya lembaga publik menjadi lebih akuntabel untuk menjawab berbagai tuntutan publik dengan memaksimalkan penggunaan sumber daya yang ada.

“Gerakan NPM ini kalau dalam lembaga peradilan biasanya berupa upaya untuk modernisasi cara kerja pengadilan. Misalnya administrasi perkara dan persidangan secara elektronik. Di samping itu, ada beberapa langkah yang dilakukan oleh pengadilan untuk mengefisienkan kerjanya yaitu membuka peluang untuk mendelegasikan kerja tertentu dari hakim kepada staf pengadilan,” ungkap Kadafi saat menjadi narasumber International Webinar “Global Trends in the Status and Roles of Judicial Assitants and Future Developments in Indonesia”, Senin (7/6).

Menurut Kadafi, asisten hakim yang di berbagai negara berbeda konsepnya adalah staf pengadilan yang ditugaskan untuk membantu hakim dalam menangani perkara yang masuk dan mereka peran semakin mengemuka dari waktu ke waktu. Di Indonesia, asisten hakim diintroduksi di MA. Hakim asisten ini semula berasal dari kalangan staf pengadilan yang pendidikannya tidak begitu tinggi. Belakangan mereka berasal dari sarjana hukum atau lawyers.

Kadafi melanjutkan, transformasi peran dari asisten hakim juga terjadi dari waktu k ke waktu. Semula menyiapkan berita acara persidangan dan membantu hakim agar administrasi persidangan berjalan semestinya, kemudian semakin berkembang menjadi bantuan dalam memeriksa dan memutus perkara. Secara global, delegasi tugas-tugas yudisial yang selama ini atau sebelumnya dianggap tabu itu semakin marak terjadi. Misalnya menghasilkan memorandum sebagai alat bagi hakim untuk mempersiapkan persidangan, terlibat aktif dalam pembahasan dan musyawarah hakim, bahkan kadang menjadi orang pertama yang memberi pandangan tentang penyelesaian suatu perkara, menyediakan pertimbangan kritis bagi para hakim dan berfungsi sebagai sparring partner mereka serta menghasilkan draf awal putusan.

“Adanya asisten hakim tentu mendatangkan beberapa keuntungan. Di peradilan yang sibuk dengan beban kerja yang tinggi, dengan adanya asisten hakim, maka seorang hakim tidak harus menghabiskan waktu mereka yang berharga untuk tugas-tugas yang tidak pokok. Dengan adanya asisten hakim, maka hakim dapat memiliki waktu lebih banyak bagi tugas pokok mereka,” tutur Kadafi.

Ditambahkan Kadafi, dengan bantuan asisten hakim, para hakim juga dimungkinkan untuk menghasilkan putusan dengan kualitas yang jauh lebih baik. Untuk menghindarkan terjadinya kesalahan (miscarriage), asisten hakim juga dapat menjadi “mata” tambahan untuk memastikan kualitas putusan. Para asisten hakim, utamanya jika direkrut dari kalangan akademisi hukum, juga dapat menghadirkan pandangan akademik pada hakim dan putusannya.

“Namun, di balik delegasi pasti ada tersembunyi risiko penyimpangan. Misalnya, karena hakim tidak boleh bertemu dengan pihak-pihak berperkara, biasanya kontak dilakukan dengan asisten hakim, yang apabila mereka turut mendraf putusan rentan untuk dipengaruhi. Ketergantungan sepenuhnya pada asisten hakim akan problematik termasuk potensi munculnya bias-bias bagi hakim dalam putusan,” urai Kadafi.

“Karena itu perlu ada pengawasan dan kontrol, yaitu kode etik dan pedoman perilaku yang secara umum berlaku pada mereka. Nilai-nilai yang perlu difokuskan pada kedua kode etik tersebut adalah prinsip independensi dan imparsialitas. Di samping kode etik, mekanisme seleksi yang ketat dan tepat perlu dibuat dan dijalankan, serta pelatihan yang memadai bila asisten hakim ini akan dilembagakan semakin kuat di lembaga peradilan,” pungkas Kadafi. (KY/Eka Putra/Festy)


Berita Terkait