CHA Suradi: Anotasi Putusan Cegah Disparitas Putusan  
Calon Hakim Agung (CHA) ketiga yang diwawancara pada hari Selasa (3/8) adalah Hakim Tinggi Pengawas pada Badan Pengawas MA Suradi.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim Agung (CHA) ketiga yang diwawancara pada hari Selasa (3/8) adalah Hakim Tinggi Pengawas pada Badan Pengawas MA Suradi. Suradi ditanya pendapatnya mengenai pidana mati. Suradi membuka dengan pernyataan bahwa saat ini ada kecenderungan di negara dunia untuk menghapus pidana mati. Pidana mati dianggap merampas hak dasar manusia, sehingga menurut lembaga HAM perlu dihapus. Namun Suradi menganggap bahwa pidana mati masih diperlukan di Indonesia. Meskipun menurut Suradi pidana mati hanya dalam keadaan khusus, tidak diatur dalam pidana pokok seperti di KUHP.

 

“Secara pribadi, pidana mati masih diperlukan. Tapi diatur dalam pidana khusus, dan ada aturan ketat dalam penjatuhannya,” ujar Suradi.

 

Dalam kesempatan tersebut Suradi menyatakan bahwa putusan yang adil adalah putusan yang tidak terlalu jomplang dengan putusan yang lain dalam kasus yang sama. Misalnya dalam kasus yang sama, yang kaya pidananya lebih rendah dibandingkan yang miskin. Maka masyarakat akan memandang ada perbedaan.

 

“Perlu ada sosialisasi budaya hukum, sehingga masyarakat dapat melihat kepatutan dari suatu putusan,” saran Suradi.

 

Salah satunya dengan bekerja sama dengan akademisi, karena pandangan mereka objektif. Suatu putusan diteliti dalam bentuk anotasi, sehingga dapat dilihat oleh berbagai pihak suatu putusan letak tidak adilnya di mana.

 

“Suatu putusan dilakukan penelitian, sehingga dapat menjadi masukan bagi para hakim dalam memutus perkara. Sehingga tidak terjadi gap besar antara satu putusan dengan putusan yang lain,” kata Suradi.

 

Termasuk perdebatan pengenaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Suradi menyarankan MA menggandeng akademisi untuk melakukan anotasi putusan terkait kedua pasal tersebut. Lalu anotasi tersebut dipublikasikan, sehingga secara tidak langsung mensosialisasikan suatu budaya hukum, dan menjadi masukan bagi hakim untuk mengurangi disparitas putusan.

 

“Memang tidak mudah merubah mindset para hakim, karena tergantung pengalaman dan sudut pandang. Tanpa mengurangi kemandirian hakim, perlu dilakukan sosialisasi untuk merubah persepsi. Dengan adanya perubahan persepsi, akan ada kesadaran dan nanti dapat dipraktikan dalam penyusunan putusan,” pungkas Suradi. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait