CHA Suharto Ungkap Penyebab Kasasi di MA Tinggi
Calon Hakim Agung (CHA) ketiga yang diwawancara Rabu (4/8) adalah Suharto, Panitera Muda Pidana Khusus pada Mahkamah Agung (MA).

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim Agung (CHA)  ketiga yang diwawancara Rabu (4/8) adalah Suharto, Panitera Muda Pidana Khusus pada Mahkamah Agung (MA).

 

Suharto ditanyakan motivasinya mengikuti seleksi CHA. Suharto menjawab bahwa sudah ikut empat kali, tapi lolos ke tahap wawancara baru dua kali. Sejak tahun 2016 Suharto sudah menjalankan tugas sebagai Panitera Muda Pidana Khusus MA. Suharto sudah memberi dukungan teknis administrasi yudisial kepada hakim agung. Suharto memiliki delegasi wewenang dari panitera yang tugasnya mengirim salinan putusan MA. Jadi sehari-hari Suharto sudah membaca dan mengamati perjalanan perkara sampai diputus, sampai saat tanda tangan untuk dikirim ke pengadilan pengaju. Kalau produktivitas memutus, 85 persen MA dapat memutus dalam kurun waktu 90 hari. 

 

Suharto mengungkap persoalan yang dihadapi MA saat ini justru tunggakan minutasi. Di Kamar Pidana yang Suharto tahu persis itu 5.000 - 7.000 minutasi belum terkirim. Kendala-kendala inilah yang mendorong Suharto memiliki motivasi untuk berkontribusi kepada MA.  

 

“Ibaratnya saya sudah di dapur, tapi saya belum menjadi koki. Saya ingin menjadi koki bagaimana masakan ini kira-kira tidak mencederai perasaan keadilan masyarakat secara legal justice, moral justice, maupun social justice. Jadi konkritnya saya ingin ikut dalam penguatan visi MA, memberikan pelayanan hukum berkeadilan bagi para pencari keadilan. Salah satu bentuk pelayanannya  bagaimana agar putusan yang telah diputus oleh MA segera diselesaikan minutasinya,” ungkap Suharto.    

 

Panelis menanyakan mengapa ada banyak perkara kasasi di MA, padahal Pasal 45A UU MA sudah ada pembatasan kasasi. Suharto menjawab di pidana khusus ada tiga besar perkara kasasi dan peninjauan kembali. Pertama narkotika. Kedua dan ketiga korupsi dan perlindungan anak, tiap tahun bolak-balik ganti peringkat. Di politik hukum nasional kita, pembuat UU beranggapan meningkatkan ancaman hukuman itu akan signifikan dengan mengurangi kejahatan. Pasal 112 dan 114 UU Narkotika minimum pidananya empat tahun, minimum denda 800 juta. Jadi tidak pakai gramisasi, berapa pun volumenya asalkan Pasal 114 dia kena empat tahun. Inilah yang menyebabkan orang berbondong-bondong kasasi.

 

“Jadi mayorits perkara kasasi justru narkotika di pidana khusus, dari tahun ke tahun sekitar 35-37 persen. Setelah kita amati, belum ada studi yang baku, yang kasasi dipidana empat tahun denda 800 juta, selalu begitu,” buka Suharto.

 

Makanya ada rumusan hasil rapat pleno kamar zaman Artidjo Alkostar, hakim perkara narkotika memutus yang didakwakan, tetapi menabrak minimum pemidanaan. Artinya kasus tersebut lebih tepat di Pasal 127, tanpa hak untuk menggunakan narkotika untuk diri sendiri. Namun karena didakwakan Pasal 112 dan 114, hakim boleh menjatuhkan pidana kurang dari minimal.

 

“Kami beberapa kali dengan BNN, Kejaksaan Agung, bekerja sama untuk sosialisasi mengenai hal ini. Karena semangatnya penyidik dan Jaksa selalu menkonstruksikan dakwaan Pasal 112 dan 114,” kata  Suharto.

 

Suharto kembali ditanyakan mengapa proses peninjauan kembali (PK) di MA juga tinggi. Suharto menjawab ada break down dari Pasal 45A UU MA, yakni Sema Nomor 8 tahun 2011. Setelah konsultasi dengan pimpinan, spirit Sema tersebut untuk dipakai dalam proses PK. Hanya trend sekarang PK dianggap upaya hukum tingkat empat. Sehingga advokat hampir selalu menggunakan hal ini.

 

“Saya minta legal standing-nya harus jelas. Pemohon PK legal standing-nya narapidana, bukan terdakwa. Jadi upaya para advokat menghindari eksekusi lewat mekanisme PK itu akan terhalang apabila teks Pasal 263 KUHAP ditafsir dengan benar, bahwa pemohon PK narapidana atau ahli waris,” pungkas  Suharto. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait