Pengawasan Hakim Tidak Cukup Meredam Pelanggaran KEPPH
Anggota KY Binziad Kadafi sebagai narasumber pada webinar Klinik Etik dan Advokasi, dengan tema “Sinergitas Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam Penegakan Kode Etik di Lingkup Peradilan”, Kamis (15/09).

Jakarta (Komisi Yudisial) – Komisi Yudisial (KY) dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya menggelar webinar Klinik Etik dan Advokasi, dengan tema “Sinergitas Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam Penegakan Kode Etik di Lingkup Peradilan”, Kamis (15/09). Hadir sebagai narasumber Anggota KY Binziad Kadafi dan Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung (MA) Amran Suadi, juga Dekan FSH UINSA Suqiyah Musafaah. Acara ini diikuti ratusan civitas universitas dan perwakilan peradilan agama dari seluruh Indonesia.

 

Dalam pemaparannya, Kadafi menjelaskan bahwa jabatan hakim adalah jabatan yang paling sulit dimengerti dibanding cabang keluasaan lain. Hakim melaksanakan tugas secara eksklusif, terlepas dari dinamika masyarakat sehari-hari, ditambah proses pengambilan putusannya yang tertutup dan rahasia.

 

“Bahwa pembacaan putusan terbuka untuk umum itu satu hal, tetapi musyawarah pengambilan putusannya dirahasiakan,” ujar Kadafi.

 

Sesungguhnya mayoritas hakim taat Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Apabila ada pelanggaran, sifatnya individual, tidak sistemik. Namun harus diakui dampak pelanggaran KEPPH bagi reputasi hakim dan peradilan itu bersifat sistemik. Masyarakat jadi meragukan kemampuan hakim untuk memutus perkara secara adil dan imparsial. Pelanggaran KEPPH yang terekspos, meningkatkan beban dan tekanan terhadap hakim secara keseluruhan, padahal itu merupakan kelalaian oknum hakim tertentu. Tidak hanya para hakim, keluarga mereka juga bisa terdampak. Apalagi, hampir di semua negara, hakim dan proses peradilan selalu menjadi perhatian konstan media massa, sehingga jika ada berita buruk, ekspos media lebih kuat dan lebih cepat.

 

“Apabila KY dan MA tidak mengambil langkah tegas, maka akan menjadi insentif bagi pelanggaran KEPPH berikutnya, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim yang lain. Karena itu mekanisme pengawasan dan pendisiplinan hakim harus dibentuk,” ucap Kadafi.

 

Terdapat pertanyaan mengapa walau sudah ada pengawasan dari MA dan KY, masih ada pelanggaran KEPPH yang dilakukan hakim. Menurut Kadafi, meskipun hakim adalah Wakil Tuhan dan punya wewenang besar, bahkan dalam berbagai agama diposisikan khusus, mereka tetaplah manusia. Walau dalam memutus bisa menghilangkan nyawa orang, menghilangkan hak orang, dan memberikan kewajiban, hakim adalah manusia yang penuh keterbatasan.

 

“Kita tidak boleh keliru ketika melihat gejala sosial tindakan yang mencoreng profesi hakim dan peradilan, hanya dengan satu kaca mata. Perilaku bermasalah disebabkan banyak faktor. Lemahnya pengawasan hanya satu faktor. Pengawasan hanya menghilangkan motif, hakim takut untuk melakukan pelanggaran,” jelas Kadafi.

 

Kadafi menjabarkan terdapat hal lain yang jadi akar masalah mengapa hakim melakukan pelanggaran KEPPH, seperti apakah kesejahteraan sudah disediakan memadai oleh negara. Kadafi mengajak agar melihat akar masalah jangan hanya dari sudut pandang pengawasan, sehingga tidak memberikan solusi prematur hanya penguatan pengawasan.

 

"Misalnya juga dilihat apakah ada guidance yang diberikan oleh MA, dengan secara rutin menyediakan yurisprudensi yang dapat dijadikan rujukan hakim di bawah. Tetapi pada akhirnya kita tetap harus introspeksi apakah pengawasan yang dilakukan sudah efektif. Inovasi harus terus dilakukan, misalnya melalui pengawasan digital yang dibangun oleh MA dan KY,” pungkas Kadafi. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait