Rumah Dinas Hakim Jadi Perhatian KY dan MA
Anggota KY Sukma Violetta hadir secara daring sebagai salah satu narasumber pada Kamis (06/09) dengan memberikan materi “Potensi Pelanggaran Etika dalam Setiap Tahapan Penanganan Perkara”.

Bandung (komisi Yudisial) – Komisi Yudisial (KY) bekerja sama dengan Jimly School Law and Government dan Konrad-Adenauer-Stiftung melaksanakan workshop Manajemen Penanganan Perkara di Pengadilan dalam Perspektif  Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) untuk wilayah Bandung, 5 hingga 7 Oktober di Hotel Mercure Bandung, Jawa Barat. Pelatihan diikuti 24 orang hakim, terdiri dari 12 Hakim Pengadilan Tinggi Bandung dan 12 Hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung. Anggota KY Sukma Violetta hadir secara daring sebagai salah satu narasumber pada Kamis (06/09) dengan memberikan materi “Potensi Pelanggaran Etika dalam Setiap Tahapan Penanganan Perkara”.

 

Dalam sesi tanya jawab, beberapa hakim menyinggung soal keberadaan rumah dinas, terutama bagi hakim di daerah kecil. Sukma menjelaskan bahwa hal tersebut selalu menjadi bahan pembicaraan paling lama jika bertemu dengan Mahkamah Agung (MA). MA dan KY bekerja sama menyiapkan data-data yang selain komprehensif juga akurat tentang kondisi di lapangan bagi Bappenas, dan jumlah anggaran untuk meyakinkan Kemenkeu. Meskipun nanti dibahas Komisi III DPR, tapi Komisi III selalu akomodatif terhadap MA terkait jumlah anggaran. Dari pembicaraan terakhir KY dengan MA, keputusannya bahwa saat Ini MA tidak akan membangun  atau menambah rumah dinas, tapi membangun dalam bentuk apartemen. Saat ini mulai dibangun flat di wilayah Jakarta Timur, meskipun baru cuma satu.

 

"Dengan demikian, kebijakan yang diambil oleh MA pada saat ini adalah dengan uang sewa rumah. Hal itu diharapkan bisa sedikit mengatasi, karena banyak yang melaporkan belum mencukupi. Ke depannya, semoga kerja sama antara KY dan MA dapat meyakinkan Bappenas, Kemenkeu, dan DPR, sehingga rumah dinas bagi hakim terwujud,” ujar Sukma

 

Pertanyaan lain yang menggelitik adalah kewenangan KY dalam rekrutmen hakim agung. Proses rekrutmen, dengan anggaran begitu besar, komprehensif, sudah baik, dan dapat dikatakan yang sudah berhasil pantas menjadi hakim agung, namun di akhir terganjal persetujuan DPR. Sudah berbulan seleksi, dalam hitungan jam di DPR jadi sia-sia.

 

Memang terkait persetujuan DPR menjadi concern semua pihak, jelas Sukma, terutama rekrutmen terakhir ada kamar yang semua calon tidak disetujui, yakni kamar pidana. Padahal kebutuhannya luar biasa, calonnya sudah terbaik menurut KY. KY selalu menanyakan ke DPR mengapa hal tersebut dapat terjadi, dan jawabannya mereka lembaga politik. Untuk itu dalam setiap penyampaian calon hakim agung (CHA) ke DPR, KY selalu bertemu dengan pimpinan DPR dan Komisi III untuk mempersentasikan semua CHA yang namanya KY serahkan ke DPR. Tentu yang terpilih sudah terbaik yang KY promosikan kepada Komisi III.

 

“Tapi kembali lagi setelah di Komisi III, tidak sesuai apa yang kita harapkan, dan jawaban mereka seperti itu. Ini masalah kita bersama, dan semoga ke depan kita sama-sama dapat mengatasi hal ini,” kata Sukma.

 

Terakhir, Sukma menyampaikan harapannya kepada peserta yang hadir dalam pelatihan.

 

“Bapak ibu hakim senior sudah puluhan tahun sebagai hakim, semoga akan selalu patuh kepada KEPPH, menjadi pengawas bagi hakim di bawahnya, teladan dan memberikan pengarahan kepada pengadilan di bawahnya. Selamat bekerja, bertugas, meskipun ada “gempa bumi”, kami yakin banyak hakim yang sesuai harapan masyarakat,” pungkas Sukma. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait