Wajah Martabat Hakim dan Pengadilan Wajib Dijaga Bersama
Komisi Yudisial (KY) menggelar diskusi publik Pencegahan Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) dan peluncuran buku Perjalanan 8 Tahun Advokasi Hakim, Kamis (07/10) di Bandung, Jawa Barat.

Bandung (Komisi Yudisial) – Upaya pencegahan merendahkan kehormatan hakim (PMKH) tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga peradilan, tetapi selayaknya dijaga seluruh elemen masyarakat termasuk aparat penegak hukum dan pihak berperkara. Untuk pengamanan persidangan yang optimal, majelis hakim juga penting untuk melakukan koordinasi dan bantuan pengamanan kepada pihak kepolisian. Terlebih, jika perkara yang disidangkan adalah kasus besar yang menarik perhatian dan berpotensi mengundang massa dalam jumlah yang besar.

 

“Sampai hari ini kami masih meracik peraturan-peraturan Polri untuk mengamankan hakim di dalam sidang yang sampai saat ini belum ada,” ungkap Advokat Madya Bidang Hukum Kepolisian Daerah Jawa Barat Anang Usman.

 

Senada dengan Usman, Direktur LBH Bandung Lasma menyinggung bahwa PMKH tidak hanya membahas mengenai kepentingan hakim, tetapi kepentingan semua terutama masyarakat yang mengganggap bahwa peradilan merupakan jalan terakhirnya untuk mencari keadilan. Oleh karena itu, kepentingan ini perlu dijaga bersama.

 

“Saya sepakat bahwa martabat dan kehormatan seorang hakim dalam menjalankan tugasnya penting kita jaga bersama dengan menjalankan sistem peradilan yang adil dan tidak boleh membatasi akses partisipasi publik dan juga hak-hak masyarakat,” urai Lasma.

 

Dari perspektif jaksa, Kepala Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi Kejaksaan Agung RI Didik Farkhan menyebutkan upaya-upaya jaksa dalam pencegahan PMKH. Pertama, sejak awal dalam penanganan perkara JPU wajib mengindentifikasi tingkat kerawanan dan potensi ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan sampai proses persidangan. Kedua, mengajukan permohonan pemindahan tempat persidangan ke pengadilan lain bila ada potensi kerawanan keamanan proses persidangan. Ketiga, mengajukan sidang dilaksanakan online bila potensi rusuh. Keempat, perlindungan jaksa dan keluarga. Kelima, penggunaan senjata api, sesuai Pasal 8A UU NO.11/2021 tentang Perubahan UU 16/2004. Terakhir adalah upaya meningkatkan kepercayaan publik kepada kejaksaan/hakim dan pengadilan di setiap kegiatan penyuluhan hukum.

 

“Yang berpotensi PMKH itu terjadi pada kasus pembunuhan, terlibatnya ormas dan tokoh masyarakat, serta kasus penistaan agama. Kepada kawan-kawan aparat penegak hukum harus mulai antisipasi sejak awal pada potensi kerusuhan di perkara-perkara tersebut,” tutup Didik. (KY/Halima/Festy)


Berita Terkait