Trend Vonis Ringan, Harus Lihat Juga Trend Tuntutan
Komisi Yudisial (KY) menerima audiensi dari Universitas Muhammadiyah Magelang pada hari Rabu (18/01) di Auditorium KY.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Komisi Yudisial (KY) menerima audiensi dari Universitas Muhammadiyah Magelang pada hari Rabu (18/01) di Auditorium KY. Ratusan peserta audiensi diterima oleh Juru Bicara KY Miko Ginting. Miko menjelaskan pada peserta audiensi tentang wewenang dan tugas KY sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. 

Dalam sesi tanya jawab, Miko ditanyakan beberapa pertanyaan yang menarik. Miko ditanyakan terkait vonis yang dianggap ringan terhadap kasus korupsi akhir-akhir ini. Miko menjawab bahwa KY memiliki kewenangan menganalisis atau anotasi putusan yang berkekuatan hukum tetap. Tapi tidak boleh mengatakan benar atau salah suatu putusan, karena itu bentuk intervensi peradilan. Bagaimana jika dicurigai ada putusan bermasalah? 

“KY bisa masuk dalam kasus tersebut. Putusan yang ada masalah, pasti semua orang bisa melihat atau mencium dengan mudah. KY bergerak di area tersebut, untuk menjaga kode etik, bukan untuk menentukan benar atau salah,” beber Miko. 

Untuk menyatakan suatu vonis ringan perlu hati-hati, karena harus dilihat secara keseluruhan, tidak hanya vonis putusan hakim, tapi juga tuntutan jaksa penuntut umum. Apakah ringan karena ada gap antara tuntutan dan putusan, atau putusan sesuai tuntutan. Misalnya dalam kasus Pinangki tuntutan dari jaksa penuntut umum 5 tahun, di putusan PN dinaikan menjadi 10 tahun, di Mahkamah Agung (MA) dibalikan lagi sesuai tuntutan jaksa. Tidak salah karena sesuai tuntutan. 

“Jadi jika dikembalikan sesuai tuntutan, apakah putusan ini ringan? Jadi kita harus melihat data. Karena melihat trend vonis, harus melihat juga trend tuntutan. Sehingga mengapa ada disparitas putusan tindak pidana korupsi meskipun MA sudah membuat Perma tentang disparitas tentang pidana korupsi, masalahnya mungkin karena di proses penuntutan. Menarik untuk diteliti,” jelas Miko.

Miko juga ditanyakan siapa yang melakukan pengawasan terhadap Anggota KY. Tujuh kominsioner datang dari berbagai belakang berbeda, yakni 2 orang mantan hakim, akademisi, praktisi, dan tokoh masyarakat. Dari latar belakang ini terbentuk pola saling mengawasi dan akuntabel. Dari kacamamata mantan hakim, diawasi oleh perwakilan akademisi misalnya. Dilihat dari sistem kesetaraan dan kolektif kolegial pengambilan putusan di KY, ketua dan wakil merangkap anggota, tidak berbeda atau setara. 

“Jadi pengambilan keputusan semua harus setuju, tidak sah jika ada satu yang menolak menurut UU. Masing-masing saling mengontrol dalam posisi yang setara dan cukup efektif dalam mengimbangi, dan menjaga agar tidak ada yang terlalu jauh keluar dari koridor,” pungkas Miko. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait