CHA Achmad Dimyati Rachmad Sulur: Satu Saksi Jadi Alat Bukti dalam Kasus Pelecehan Seksual
Calon hakim agung pertama dari Kamar Pidana adalah Hakim Tinggi Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbangdiklatkumdil) Mahkamah Agung (MA) Achmad Dimyati Rachmad Sulur.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Komisi Yudisial (KY) menggelar seleksi wawancara sejak Selasa (31/1) hingga Kamis (2/2) di Auditorium KY, Jakarta. Di hari pertama, wawancara diikuti 6 calon hakim agung dari Kamar Pidana, yaitu: Achmad Dimyati Rachmad Sulur, Annas Mustaqim, Parulian Lumbantoruan, Siti Suryati, Sukri Sulumin, dan Suprapti. Para calon akan menjawab pertanyaan dari panelis yang terdiri dari Pimpinan dan Anggota KY, Prof. Bagir Manan dari unsur kenegarawanan dan H. Parman Soeparman yang merupakan ahli untuk Kamar Pidana.

Calon hakim agung pertama dari Kamar Pidana adalah Hakim Tinggi Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbangdiklatkumdil) Mahkamah Agung (MA) Achmad Dimyati Rachmad Sulur. Achmad ditanya mengenai makalah yang dibuat pada seleksi kualitas. Dicontohkan, pada kasus pelecehan seksual hanya ada satu saksi korban. Di tingkat pertama terbukti, tetapi di tingkat banding dinyatakan bebas.

Merespons hal itu, Achmad setuju dengan putusan tingkat pertama. Dalam Ilmu Hukum memang ada asas unus testis nullus testis yang berarti satu saksi bukan saksi. Saksi sebagai alat bukti, maka minimal dua orang dan merupakan teori klasik. Dalam kasus tertentu, terutama dalam kasus pelecehan seksual dan dalam undang-undang (UU) khusus seperti UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, bahwa sudah mengakomodir di mana satu saksi bisa menjadi alat  bukti. Dengan mendasarkan ketentuan formal dan perkembangan hukum dalam kasus pelecehan seksual, maka Achmad berpendapat satu saksi ini bisa dijadikan sebagai alat bukti.

“Dalam kasus tersebut, setelah menyimpulkan saksi sebagai satu alat bukti, maka hakim perlu menggali fakta sebagai alat bukti lain. Ada keterangan terdakwa, walaupun keterangan terdakwa kontradiktif. Selain itu, ada surat dan keterangan saksi lain. Misalnya, surat permintaan kepada dekan untuk mengganti pembimbing yang tidak dipenuhi. Bukti lain berupa surat dan bukti ahli, sehingga sudah cukup membuktikan. Bahwa minimal dua alat bukti tercukupi,” jelas Achmad.

Kemudian Achmad ditanya apabila sebagai ketua pengadilan, apa yang akan dilakukan untuk memastikan persidangan berjalan fair dan bebas tekanan ketika melibatkan aparat penegak hukum. Achmad mengaku agak sulit menjawab hal itu, tetapi ia menekankan akan menjalankan sesuai peraturan perundang-undangan. Menurut UU, lanjut Achmad, ketua menetapkan dalam waktu 3 hari kerja untuk menunjuk majelis hakim atau hakim yang memeriksa perkara bersangkutan. Kemudian diberi nomor urut dan dibuat susunan majelis.

“Saat saya menjadi ketua, maka ditunjuk sesuai urutan. Jika ada perkara masuk, kasus pertama satu dipegang ketua, kasus kedua wakil, dan seterusnya. Kalau memang kasusnya ad hoc dan menarik perhatian internasional, maka tetap sesuai urutan majelis dengan perkara yang masuk. Prinsipnya, semua hakim harus mampu menjalankan tugasnya,” pungkas Achmad. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait