CHA Abd. Hakim: Perkawinan Beda Agama Telah Tegas Diatur
Calon hakim agung pertama dari Kamar Agama yang diwawancara oleh panelis adalah Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu Abd. Hakim.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim agung pertama dari Kamar Agama yang diwawancara oleh panelis adalah Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu Abd. Hakim. Dalam uji publik, calon ditanya pendapatnya mengenai perkawinan beda agama dan dispensasi pernikahan diri yang belakangan banyak disorot oleh publik.

 

Merespons hal itu, Abd. Hakim menjelaskan bahwa dispensasi kawin telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Namun, ia mengakui bahwa hal itu tidak dapat menyelesaikan persoalan terkait pernikahan dini. Abd. Hakim mengungkap bahwa hanya  sekitar 17 persen dispensasi pernikahan dini yang diajukan ke pengadilan agama, karena kebanyakan terjadi melalui perkawinan siri.

 

“Hal ini menjadi pekerjaan bersama yang perlu didukung berbagai elemen masyarakat. Di Bengkulu, saya bersama pemerintah kota/kabupaten memberikan sosialisasi tentang hal ini. Saya juga sampaikan Ketika pengadilan agama menolak atau mengabulkan dispensasi pernikahan dini, maka harus dikawal pelaksanaannya,” jelas Abd. Hakim saat wawancara, Rabu (1/2) di Auditorium KY, Jakarta.

 

Terkait perkawinan beda agama, maka secara tegas ia mengungkap bahwa telah diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Oleh karena itu, lanjutnya, perkawinan beda agama akan kembali kepada agama dan kepercayaannya masing-masing. Lebih lanjut juga telah diatur dalam Pasal 40 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria kepada seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pada Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

 

“Sehingga berdasarkan hal itu, maka telah menjadi final karena diatur dalam Kompilasi Hukum Islam,” tegas Abd. Hakim.

 

Terkait topik perkawinan beda agama, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan uji materi Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait pernikahan beda agama. Menurut MK, ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 memberikan suatu koridor bagi pelaksanaan perkawinan bahwa agar perkawinan sah maka perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Berlakunya ketentuan pasal 2 ayat (1) bukan berarti menghambat ataupun menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya. (KY/Halima/Festy)

 

 


Berita Terkait