CHA Lucas Prakoso: Gugatan Perkara Perdata Ada yang Sekadar Coba-Coba
Calon hakim agung (CHA) terakhir dan satu-satunya dari Kamar Perdata yang diwawancara pada hari kedua, Rabu (1/2), adalah Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Umum Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA) Lucas Prakoso.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim agung (CHA) terakhir dan satu-satunya dari Kamar Perdata yang diwawancara pada hari kedua, Rabu (1/2), adalah Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Umum Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA) Lucas Prakoso. 

Calon dari Kamar Perdata menjawab pertanyaan dari panelis yang terdiri dari Pimpinan dan Anggota KY, Prof. Bagir Manan dari unsur kenegarawanan dan Ketua Kamar Perdata MA I Gusti Agung Sumanatha. Lucas diberi pertanyaan terkait 38 ribuan perkara perdata yang masuk ke pengadilan dalam setahun dan sepersekian persennya adalah coba-coba.

Lucas membenarkan pernyataan tersebut. Ia pernah menemukan kasus ketika bertugas di PN Sleman di mana terdapat perkara antara penyewa dengan pemilik sewa rumah. Ketika sudah habis masa sewanya, pemilik rumah tidak berkehendak menyewakan kembali. Namun penyewa maun memperpanjang sewa. Setelah konsultasi kepada seorang ahli hukum, maka kemudian mengajukan gugatan. 

“Ketika saya membaca perkara itu, saya katakan ini apa tidak sia-sia. Pasal 1320 KUHPerdata mengenai adanya kata sepakat. Jadi, bagaimana mungkin seorang yang tidak sepakat bisa dipaksa. Menggugat supaya mau menyewakan menjadi isi petitum. Bukan memperpanjang sewa,” beber Lucas. 

Lucas secara realistis menjawab belum ada solusi konkret karena terbentur peraturan perundang-undangan. Pertama, pengadilan tidak  bisa menolak jika ada gugatan demikian. Gugatan perdata adalah privilege litigation, bahkan pengadilan tidak bisa menolak walau sekadar coba-coba.

Kedua, lanjut Lucas, memang diakui tidak ada upaya pencegahan atau hal yang bisa mengerem laju permintaan kasasi. Dalam undang-undang menyebutkan, perkara pidana yang tidak bisa diajukan kasasi adalah pra peradilan, kemudian yang ancaman kurang dari satu tahun. Untuk putusan pengadilan TUN yang lingkup kewenangan putusan itu hanya lokal. 

“Tapi seandainya tidak termasuk dalam kategori itu, maka ada pintu lainnya, yakni tidak memenuhi syarat formal. Syarat formal pengajuan kasasi adalah tenggang waktu pengajuan kasasi dan pengajuan memori kasasi. Apabila dua hal ini terlambat mengajukan, maka secara formal tidak akan diterima. Ketua pengadilan akan mengatakan melalui penetapannya bahwa berkas tidak dapat diterima. Itu baru satu cara, tapi sebatas pada aturan formalnya dan sudah dilakukan. Tapi untuk perkara perdata, aturannya secara substantif yang tidak tidak bisa dikasasi hanya satu perkara saja, yakni perkara gugatan sederhana,” ungkap Lucas. 

Lucas juga ditanya langkah konkret jika menjadi seorang hakim agung. Selama 3,5 tahun berada di MA, Lucas memahami dengan benar sisi-sisi kekurangan dari sistem di MA. Beberapa waktu yang lalu Lucas sempat berbincang dengan kawan dari Tim Pembaruan MA, mengenai bagaimana memisahkan antara panitera pengganti dengan hakim agung. Untuk itu, jika ia menjadi hakim agung akan menyelesaikan semua pekerjaannya sendiri, kecuali untuk urusan pengetikan. Pendapat ditulis sendiri, disimpan sendiri. 

“Saya tidak akan membuka akses kemungkinan terjadinya penyimpangan. Bukan saya tidak percaya dengan orang di sekitar saya, tapi ini ada potensi. Kami khawatir hal-hal yang kami pikirkan, yang sudah kami tuangkan dalam satu draf putusan itu bocor. Kedua, membatasi kunjungan, batasi tamu. Ketiga, saya akan tetap seperti saya semula, tidak berubah meskipun sudah menduduki jabatan,” pungkas Lucas.  (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait