Ketua KY Taruh Harapan Penuh kepada Perguruan Tinggi untuk Hasilkan Lulusan Bermutu
Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai saat menjadi memberikan orasi ilmiah dalam Rapat Senat Universitas Mataram bertema “Kolaborasi Perguruan Tinggi dan Industri dalam Pengembangan Sumber Daya Unggul Menuju Internasionalisasi Universitas Mataram”, Selasa (10/10) di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Mataram (Komisi Yudisial) – Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai menaruh harapan yang kuat terhadap perguruan tinggi Indonesia agar menghasilkan lulusan yang bermutu global. Ia menekankan pentingnya revitalisasi kurikulum dan metode pembelajaran yang mampu merespon kebutuhan global. Amzulian mengakui, sebenarnya jumlah dan kualitas tenaga kerja Indonesia tidak kalah di tingkat ASEAN. Walaupun demikian, tenaga kerja negara ASEAN lain memiliki kelebihan nekat, tidak malu-malu, tidak mudah "baper".

Amzulian juga menyatakan, hal ini juga karena ada celah yang sering tidak dimanfaatkan civitas akademika. Kurikulum akademis universitas di Indonesia kebanyakan fokus pada ilmu eksakta. Di banyak negara lain, universitas memperkuat kampus vokasi. Akhirnya universitas negeri Indonesia tertinggal, sehingga banyak jurusan vokasi diambil swasta. Misalnya animasi. 

“Memperkuat kemampuan dasar sangat penting. Namun, revitalisasi kurikulum dan metode pembelajaran yang mampu merespons kebutuhan global juga berperan,” ungkap Amzulian saat menjadi memberikan orasi ilmiah dalam Rapat Senat Universitas Mataram bertema  “Kolaborasi Perguruan Tinggi dan Industri dalam Pengembangan Sumber Daya Unggul Menuju Internasionalisasi Universitas Mataram”, Selasa (10/10) di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Berdasarkan studi “The State of Higher Education in Southeast Asia”, ada beberapa rekomendasi penting yang bisa untuk mengatasin problema ini. Pertama, Amzulian menyebut pentingnya mengaplikasikan student-lead education (pembelajaran berfokus pada peserta ajar) yang salah satunya memasukkan materi ajar kepemimpinan ke kurikulum. Contoh adalah Malaysia dengan program “emPOWER”. 

"Kedua, memasukkan materi service learning ke dalam kurikulum berupa pembelajaran berbasis pengalaman untuk menjawab kebutuhan bersama antar manusia. Malaysia sudah memasukkan 20 jam pelajaran service learning ke kurikulum mereka," lanjut Amzulian.

Ia melanjutkan, sebagai respons terhadap internasionalisasi dan regionalisasi, maka perguruan tinggi perlu mendorong peningkatan kemampuan berbahasa asing dan pengembangan profesional bagi mahasiswa dan staf pengajar/akademik. Menurutnya, hal ini sudah dilakukan oleh Vietnam dalam rencana peningkatan kualitas akademik 2008-2020. Terakhir, transformasi digital dan inovasi adalah hal yang tidak bisa dielakkan.

“Kita jangan kaku mengembangkan program studi. Karena akan membuat kita sulit berkembang,” tekan Amzulian.

Tidak kalah penting, Amzulian mengharapkan sikap elitis civitas akademika bisa hilang. Saat menjadi pimpinan himpunan dekan fakultas hukum daerah barat Indonesia, Amzulian menyampaikan pidato di hadapan dekan yang lain. Amzulian menyatakan bahwa salah satu kelemahan sarjana hukum di Indonesia adalah sikap angkuh alumni sebagai lulusan universitas X atau Y. 

Selain itu, penting dilakukan peningkatan kerja sama antar universitas, bahu membahu, termasuk dalam mengevaluasi kurikulum.

“Saat memilih profesi hukum, semua sarjana hukum memiliki kesempatan yang sama. Sehingga penting agar standar kualitas lulusan sarjana hukum tidak berbeda. Tidak ada jaksa alumni X atau hakim alumni Y, yang ada jaksa dan hakim Indonesia,” pungkas Amzulian. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait