
Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) di Mahkamah Agung (MA) ketiga yang diwawancara dosen Universitas Muhammadiyah Malang Moh Puguh Haryogi, Kamis (8/8/2025) di Auditorium KY, Jakarta. Panelis menggali gagasan calon mengenai hukuman mati.
Menurut Puguh, hukuman mati merujuk pada beberapa konferensi internasional sebenarnya sudah dihapuskan, sementara di perundang-undangan Indonesia masih diberlakukan. Perdebatan soal hukuman mati selalu terjadi. Bahkan, perdebatan inipun sampai pada tatanan hakim di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya baca berkenaan dengan hukuman mati, di MK juga terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Dari 9 anggota MK, terbagi 5 berbanding 4. Jadi memang yang mendukung hukuman mati itu tetap ada, sementara yang menolak juga masih ada," jelas Puguh.
Puguh secara pribadi menyampaikan, pemikirannya sejalan dengan Teori Natural dan pendapat dari Thomas Aquinas yang menganggap bahwa hak hidup adalah hak yang melekat pada kodrat manusia, bukan berasal dari otoritas luar seperti negara atau hukum manusia. Terlepas sebesar apapun kesalahan yang dilakukan, Puguh setuju bahwa hak hidup tetaplah hak yang tidak bisa direnggut.
"Untuk permasalahan ini, saya kembali kepada awal mula Teori Hukum Natural atau Alam. Teori ini mengemukakan bahwa pada diri manusia itu melekat hak hidup. Jadi, hak hidup dalam manusia sejahat apapun manusia, selagi dia manusia dia mempunyai hak hidup," ungkap Puguh.
Meskipun demikian, Puguh dalam menerapkan pidana mati saat bertugas sebagai hakim akan tetap patuh pada hukum positif atau hukum yang berlaku saat ini di Indonesia. Calon tegas menyampaikan hukum positif harus diaplikasikan pada koridor yang tepat sesuai peruntukannya .
"Karena hukuman mati itu hukum positif yang berlaku di Indonesia, sebagai hakim saya harus taat pada hukum positif yang masih berlaku tersebut untuk dijalankan sesui dengan tujuan yang semestinya," tutup Puguh. (KY/Halima/Festy)