KY dan MA Bersinergi Wujudkan Transparansi Persidangan Tertutup
Wakil Ketua KY Siti Nurdjanah pada Workshop Sinergisitas KY dan MA dalam Rangka Mewujudkan Transparansi Persidangan yang Bersifat Tertutup pada Perkara Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum, Rabu (27/08/2025) di Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) bersinergi mewujudkan transparansi dalam persidangan yang bersifat tertutup, khususnya dalam perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum.

Wakil Ketua KY Siti Nurdjanah mengungkap bahwa perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum semakin marak terjadi. Merespon keadaan ini, Nurdjanah menegaskan KY akan terus mendorong MA untuk mengeluarkan payung hukum yang bersifat lebih mengikat agar KY yang dapat memantau persidangan perkara perempuan dan anak yang bersifat tertutup .

“Fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap terjadi dari berbagai lapisan ekonomi. Dari sisi KY, mengapa harus terus bersinergi dengan MA karena KY akan memantau persidangan di pengadilan yang menjadi wilayah MA. Setelah terbitnya surat balasan Ketua Kamar Pengawasan MA Nomor 7/TUAKA.WAS/PW1.4/II/2025, MA menyatakan tidak keberatan apabila KY melakukan pemantauan langsung di persidangan, baik yang bersifat terbuka maupun tertutup. Namun, masih ada pengadilan yang masih belum memperoleh informasi terkait surat balasan ini, sehingga kurang welcome saat KY datang,” ungkap Nurdjanah pada Workshop Sinergisitas KY dan MA dalam Rangka Mewujudkan Transparansi Persidangan yang Bersifat Tertutup pada Perkara Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum, Rabu (27/08/2025) di Jakarta.

Menurut Nurdjanah, KY terus mengupayakan mencari solusi untuk memecahkan kendala KY tersebut melalui upaya sinergisitas KY dan MA dalam melakukan pemantauan persidangan tertutup untuk perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum.

“Kami berharap supaya MA bisa mengeluarkan semacam surat edaran. Menurut undang-undang, sidang (perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum) memang dilaksanakan tertutup, tetapi KY tentunya tidak asal memantau tanpa urgensi. KY memastikan bagaimana hakim yang menyidangkan perkara tersebut itu on the track, artinya tidak melanggar KEPPH dan memastikan korban terpenuhi hak-haknya,” jelas Nurdjanah.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta Albertina Ho memberikan beberapa masukan penting seperti diterbitkannya produk hukum yang akan menguatkan KY dalam melakukan pemantauan tertutup. Ia berpendapat bahwa surat balasan Ketua Kamar Pengawasan MA Nomor 7/TUAKA.WAS/PW1.4/II/2025 perlu didorong oleh KY untuk ditindaklanjuti oleh MA.

“Karena kalau hanya dalam bentuk surat balasan seperti ini, hakim pun mungkin belum tahu karena surat balasan ini ditujukan kepada KY. Namun, kalau dalam bentuk surat edaran MA atau SK Ketua MA, maka bisa dipublikasikan ke semua website pengadilan-pengadilan. Jadi, informasi sampai di lapangan sehingga bisa langsung diimplementasikan oleh hakim dalam bertugas,” jelas Albertina.

Meski mendukung upaya KY ini, Albertina tetap memberi catatan pada praktik pemantauan KY. Semangat pemantauan dalam rangka transparansi harus tetap berpegang untuk melindungi hak-hak para pihak dalam persidangan yang bersifat tertutup.

“Kita harus melihat dalam keadaan-keadaan tertentu, para pihak di persidangan yaitu saksi dan korban, biasanya keberatan jika ada orang lain yang ada di persidangan. Sehingga menurut saya, kalau memang kita juga mengakomodir temen-teman dari KY untuk melakukan pemantauan, maka harus ada syarat dan standar tertentu, sebab persidangan tertutup ini supaya kita melindungi pihak-pihak yang ada di persidangan, serta agar persidangan tidak menjadi konsumsi publik," jelas Albertina.

Ia juga menyarankan, agar pihak-pihak yang berkepentingan dalam memantau persidangan perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum perlu menyusun pedoman agar pemantauan persidangan tertutup berjalam sesuai standar.

“Menurut saya, perlu duduk bersama MA, KY, dan pemangku kepentingan lainnya terkait termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mungkin dapat membuat satu pedoman untuk melakukan pemantauan. Saya rasa perlu itu, kalau sebatas hanya aturan dan tidak ada pedoman pelaksanaannya akan kesulitan di lapangan,” tutup Albertina. (KY/Halimatu/Festy)


Berita Terkait